TOPENG-TOPENG
Entah sudah berapa kali saya mengutip pernyataan politik dari PM Inggris Henry
Palmerstone (1784-1865) ini. Pada suatu hari, tanggal 1 Maret 1848, di hadapan
Parlemen, Palmerstone mengatakan: “We
have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are
eternal and perpetual…….” Kita tidak memiliki sekutu abadi,
dan kita tidak memiliki musuh abadi. Kepentingan kita adalah abadi dan kekal…”
Sebenarnya, jauh tahun sebelumnya, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) seorang
negarawan, orator, ahli hukum, dan filsuf Romawi sudah mengatakan hal yang
intinya sama. Kata Cicero, “Hostis
aut amicus non est in aeternum; commode sua sunt in aternum”, lawan
atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan.
Pernyataan Cicero dan kemudian Palmerstone itu menjadi bersejarah dan abadi
juga. Dalam konteks hubungan antara negara, hal itu juga diterapkan. Yakni
menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya dalam menjalin hubungan
dengan negara lain.
Dalam dunia politik pun demikian: tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh
yang tetap, tetapi kepentingan yang tetap.
Ilustrasi foto: Istimewa
Sebab, dalam dunia politik berlaku prinsip do ut des, quid pro quo, saya beri
agar engkau memberi. Ini prinsip transaksional. Dalam konteks ini, berpolitik
itu lebih berurusan dengan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (Harold Laswell,
1936). Kalau kita sekarang ini membaca berita atau mendengar dari radio atau
televisi, para petinggi partai terus bersafari, bersilaturahim antara mereka,
ya dalam konteks itu semua.
Misalnya, hari Minggu (5 Juni 2022) malam lalu, Ketua Umum Partai NasDem Surya
Paloh menerima kunjungan pimpinan teras Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), di NasDem Tower, Godangdia,
Jakarta Pusat. Sebelumnya yang berkunjung ke NasDem Tower adalah Ketua Umum
Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum
Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.
Apa yang mereka bicarakan? Hanya mereka yang tahu. Yang terungkap ke masyarakat
atau sekurang-kurangnya diberitakan media adalah silaturahim dan membicarakan
persoalan bangsa dan negara. Itu pernyataan resmi. Pernyataan resmi yang
sungguh elok. Nggak resminya, kiranya nggak jauh-jauh dari persiapan Pemilu
2024.
Bahkan sebelumnya tiga partai—Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat
Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)—sudah membentuk koalisi:
Koalisi Indonesia Bersatu. Inilah koalisi pertama yang dipersiapkan untuk
menghadapi Pemilu Presiden 2024.
Apakah akan muncul koalisi kedua? Bukan tidak mungkin. Itulah politik. Bukankah
masih ada NasDem, Demokrat, Gerindra, PKS, PKB, dan PDI-P. Juga, partai-partai
lainnya. Koalisi partai politik merupakan hal lumrah, yang biasa saja terjadi
dalam sistem politik demokratis. Apa pun latar belakang dan kepentingannya.
Bahwa pada masa lalu mereka tidak cocok, partainya bersaing, bahkan bersaing
keras, begitu keras, itu nggak masalah. Itu juga biasa. Kata Andre Gamble
(2019) “From the sublime
to the ridiculous is only one step”, yang arti harfiahnya adalah
“dari yang agung ke yang konyol hanya satu langkah”. Yang penting sekarang
memiliki satu tujuan, satu kepentingan: merebut kekuasaan pada tahun 2024.
Tidak lebih dari itu! Maka mereka bersatu, membangun koalisi meskipun berbeda
ideologi, misalnya. Maka mereka pun bertemu, bersilaturahim.
Mengapa semua itu bisa terjadi. Kata Herry-Priyono (2022) politik itu tidak
lahir di Firdaus, tidak beroperasi dengan idealisme transendental. Itulah
sebabnya, persoalan politik hanya teratasi sementara dan tidak pernah mencapai
solusi permanen. Negosiasi, kesepakatan, kompromi, dan saling menyesuaikan
adalah idiom khas dalam politik. Dalam perspektif positif, politik dapat
dikatakan sebagai aktivitas dan arena khas manusia yan terus-menerus
mengupayakan pengelolaan konflik kepentingan bagi perbaikan tetanta hidup bersama.
Tetapi, mereka yang sinis akan mengatakan, politik itu tindakan kelicikan,
kesepakatan ganda, dan tipu daya. Politik itu kotor. Mungkin ya, mungkin tidak.
Karena, dasarnya adalah kepentingan. Kepentingan partai. Kepentingan negara dan
bangsa (semoga). Maka kata sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920), politik
adalah pertarungan bagi pembagian kekuasaan dan untuk memengaruhi pembagian
kekuasaan, entah dalam skala antar-negara atau di antara kelompok-kelompok
(parpol) dalam suatu negara.
Dalam rumusan lain, Andrew Gamble mengatakan, politik adalah drama karakter dan
keadaan tanpa akhir, dan inilah yang mendorong agenda berita di seluruh dunia.
Berkali-kali banyak orang mengatakan bahwa mereka bosan dengan politik dan tidak
tertarik padanya, namun media dalam segala platform-nya menyodorkan
berita-berita seperti itu. Terus mau apa?
Maka jangan heran, nggak usah risau dan merasa terganggu bahwa dunia di sekitar
kita ini hiruk-pikuk, riuh-rendah, bahkan bising oleh aktivitas politik.
Apalagi, menghadapi Pemilu Presiden 2024 mendatang. Semua partai sudah
menyiapkan diri, pasang kuda-kuda, membuat etung-etungan politik yang njlimet.
Bukan hanya partai yang siap-siap. Mereka yang merasa pantas menjadi presiden
pun sudah pula bersiap-siap: sudah tampil di sana-sini, sudah senyum sana-sini,
sudah ngomong ini dan itu, sudah memberikan ini dan itu, sudah ketemu tokoh
yang ini dan yang itu, sudah foto dengan tokoh nomor satu, sudah nyebar foto ke
mana-mana dengan banyak cara. Pendek kata, semua dilakukan.
Benarlah jadinya, idiom lama dalam politik: tidak ada kawan dan lawan abadi
dalam politik, yang abadi adalah kepentingan! Dan, itu sangat berlaku menjelang
Pemilu Presiden 2024. Semoga saja kepentingan rakyat; rakyat banyak!
Tetapi, seorang budak dari Suriah yang dibawa ke Roma, Publillius Syrus
(85-43), pernah mengatakan: “Cave
amicum credas, nisi quem probaveris”, hati-hatilah, jangan
mempercayai seorang teman, kecuali engkau telah mengujinya. Mengapa, karena
selagi periuk masih panas, persahabatan tetap hidup.
Sekadar mengingatkan, bukankah Marcus Junius Brutus yang oleh Julius Caesar
bahkan dianggap sebagai anaknya, tetapi karena nafsu akan kekuasaan demikian
kuat dan besar, tega tidak hanya mengkhianati bahkan membunuh Caesar.
Tapi, itu dulu pada tahun 44 SM, nggak tahu sekarang…***(Sup)
Posting Komentar