RESHUFFLE
“Tempus
fugit”…waktu terus berjalan. Begitu, kata Publius Ovidius Naso (43 SM – 17 M),
seorang penyair kondang. Ya, waktu berlalu begitu saja, kita sadari maupun
tidak kita sadari.
Begitu
pula masa pemerintahan Presiden Jokowi pun akan berakhir pada saatnya. Maka, di
masa-masa terakhir, di lap terakhir harus gas-pol istilahnya untuk
mewujudkan tekadnya ketika mengawali masa pemerintahannya: mensejahterakan
rakyat, memajukan bangsa dan negara, mewujudkan negara yang adil
makmur, gemah ripah lohjinawi, aman titi tentrem, lan kerta raharja.
Untuk
itu diperlukan tim yang benar-benar solid, yang benar-benar dan sungguh-sungguh
bekerja, yang bisa fokus pada pekerjaannya sebagai menteri, yang profresional,
yang get things done, mrantasi. Yang sudah berpikiran
mendua, yang sudah tidak bisa fokus pada pekerjaan utamanya, dan juga yang
tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan, semestinya diganti.
Maka
ketika tersiar berita akan ada reshuffle kabinet, segeralah
beredar secara cepat berita itu. Memang ada sikap pro dan kontra. Yang pro
mengatakan memang perlu ada _reshuffle_ kabinet. Karena pemerintah harus kerja
cepat menuntaskan program kerjanya yang terganggu karena pandemi Covid-19, dua
tahun terakhir. Sehingga para menteri yang kinerjanya tidak pas lagi, memang
harus diganti. Apalagi yang sudah mendua hati, karena menyiapkan Pilpres 2024.
Yang
menentang menyatakan, “Ah, tanggung, waktunya tinggal sedikit.” Lagian pula
menteri baru harus mulai dari awal lagi. Apakah menteri yang baru langsung
cepat beradaptasi dan beraksi dalam membuat kebijakan dalam waktu singkat.
Meski
demikian, ketika berita soal reshuffle itu tersiar, segera
muncul nama sejumlah menteri yang diperkirakan akan diganti. Ada sejumlah
menteri yang menurut penilaian publik, tak pas lagi atau sudah mendua hati atau
berkinerja kurang.
Tapi,
itu penilaian publik yang belum tentu atau malah sama sekali berbeda dengan
penilaian presiden yang memiliki hak prerogatif soal pengangkatan dan
penggantian menteri.
***
Foto:Sekretariat Presiden
Sebenarnya reshuffle kabinet
adalah hal yang wajar, lumrah saja dalam sebuah pemerintahan. Meski demikian
tetaplah menarik. Secara normatif reshuffle diwacanakan sebagai solusi
presiden untuk mengatasi stagnasi yang menghambat pencapaian kerja kabinet.
Namun, biasanya masyarakat mengartikannya sebagai upaya mengakomodasi
kepentingan-kepentingan politik.
SBY,
misalnya, melakukan reshuffle kabinetnya sebanyak
20 kali. Pada periode pertama pemerintahannya (2004-2009), terjadi 11
kali reshuffle. Lalu periode kedua (2009-2014) ia me-reshuffle kabinetnya
9 kali.
Bukan
kali ini saja, Jokowi merombak kabinetnya. Pada pemerintahan pertama, tiga kali
ia merombak kabinetnya. Yang pertama, Rabu Pon, 12 Agustus 2015. Saat itulah,
Luhut Binsar Panjaitan ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Hukum (Menko Polhukam), Rizal Ramli ditunjuk sebagai Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman, dan Darmin Nasution menjadi Menteri Koordinator Perekonomian.
Hampir
setahun kemudian, Jokowi kembali merombak jajaran kabinet. Reshuffle kedua
dilakukan pada Rabu Pon, 27 Juli 2016. Saat itu, Jokowi merombak 13 posisi
menteri. Di antaranya, Jokowi memanggil pulang Sri Mulyani yang sedang menjabat
sebagai Direktur Bank Dunia untuk menjabat sebagai Menteri Keuangan. Jokowi
juga mencopot Anies Baswedan dari posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lalu
menunjuk Muhadjir Effendy sebagai penggantinya.
Lalu,
pada Rabu pahing, 17 Januari 2018, untuk ketiga kalinya Jokowi me-reshuffle kabinetnya.
Saat itu, Khofifah Indar Parawansa mundur dari jabatannya sebagai Menteri
Sosial karena maju dalam Pilkada Jawa Timur. Jokowi kemudian menunjuk Idrus Marham
menggantikan posisi Khofifah. Ia juga menunjuk Mantan Panglima TNI Jenderal
(Purn) Moeldoko menggantikan Teten Masduki sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Pada
15 Agustus 2018, Jokowi me-reshuffle kabinetnya lagi.
Ini perombakan keempat. Yang diganti adalah Menteri PAN-RB Asman Abnur dan
digantikan Syafruddin. Asman mundur lantaran partainya, Partai Amanat Nasional
(PAN) keluar dari barisan koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Tak
lama kemudian yakni 24 Agustus 2018, Jokowi kembali melantik menteri baru,
yaitu Agus Gumiwang Kartasasmita. Agus mengantikan posisi Idrus Marham sebagai
Menteri Sosial lantaran terjerat masalah hukum.
Pada
periode kedua pemerintahannya, dilakukan juga reshuffle. Tanggal
23 Desember 2020, Jokowi melantik enam menteri serta lima wakil menteri baru
Kabinet Indonesia Maju pada Rabu, 23 Desember 2020.
Lalu,
Pada Rabu Wage, 28 April 2021, Jokowi melantik dua menteri Kabinet Indonesia
Maju untuk sisa masa jabatan periode tahun 2019-2024 serta satu kepala lembaga
pemerintah nonkementerian.
Jadi
sekali lagi, reshuffle kabinet adalah hal yang wajar, lumrah
saja dalam sebuah pemerintahan. Karena itu, yang digantipun harus menerima
realitas itu. Bukan setelah keluar lapangan ngomel-ngomel nggak karu-karuan,
seperti yang sudah-sudah, langsung beroposisi terhadap pemerintah.
***
Ilustrasi foto: Istimewa
Bila
kita bayangkan seorang presiden itu seperti seorang pelatih sepakbola,
maka ia sangat tahu yang dibutuhkan tim untuk memenangi suatu pertandingan yang
menentukan. Misalnya Carlo Ancelotti pelatih Real Madrid, tahu caranya
menaklukan Liverpool yang dipimpin Jurgen Klopp agar bisa merebut piala
Champion.
Pep
Guardiola tahu persis komposisi seperti apa yang harus disusun saat tim
asuhannya Manchester City menghadapi Liverpool asuhan Jurgen Klopp, untuk
merebut piala Liga Primer. Stefano Pioli pelatih AC Milan tahu pula
cara mengalahkan Inter Milan yang dipimpin Simone Inzaghi. Tapi, Inzaghi tahu
juga bagaimana meredam Juventus sehingga menjadi juara Coppa Italia 2021-2022.
Kini,
di saat-saat terakhir, Jokowi merombak kabinetnya lagi, meskipun tidak seperti
yang diperkirakan (diharapkan) publik, tentu bukan tanpa alasan yang
kuat, tepat, dan mendesak. Ini merupakan bagian dari pertaruhan
kredibilitas presiden dan trust, kepercayaan rakyat pada
presiden.
Karena
itu, dari kacamata positif, reshuffle ini semoga
benar-benar untuk mewujudkan arti yang sesungguhnya dari politik dan tujuan
dari sebuah pemerintahan negara. Yakni menciptakan bonum
commune, kesejahteraan bersama, seluruh rakyat. Bukankah itu tujuan
mulia dari berpolitik. Ibarat kemenangan, dalam sepakbola.
Tentu
setelah reshuffle diumumkan dan hanya dua menteri yang
diganti, publik masih bertanya-tanya, “kok si anu tidak?”; “kok si una juga
tidak?” Ah, itu hak prerogatif presiden.
Itulah
politik. Tetapi, tempus fugit, non autem memoria, waktu
terus berjalan tetapi ingatan tidak. Ingatan rakyat terhadap pemerintahan Pak
Jokowi yang disebut sebagai man of the people tak akan
pernah berlalu seperti waktu.(Sup)
Posting Komentar