Pak Jokowi dan Bu Mega
Oleh : Trias Kuncahyono
HUBUNGAN antara Presiden Jokowi dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selalu menarik. Menarik untuk diikuti dan diamati, terutama oleh para pengamat politik, para penggoreng isu-isu politik, juga para pemimpin atau anggota partai-partai lainnya. Apalagi sekarang ini, di saat semua partai politik sudah mulai memersiapkan diri untuk bertarung pada Pilpres 2024.Para pemimpin
partai politik (parpol) mulai mengadakan “silaturahim” antar-mereka. Bahkan,
sudah ada tiga partai yang membentuk koalisi. Tentu, tidak bagusnya relasi
keduanya—andai itu terjadi—menguntungkan bagi partai lain. Ada beberapa hal
yang membuat menarik.
Pertama, Pak Jokowi adalah
petugas partai PDIP, Ibu Mega adalah Ketua Umum PDIP. Sebagai petugas partai,
tentu Pak Jokowi tunduk dan taat pada Ketua Umum partai.
Akan tetapi, relasi itu berbeda di mana Pak
Jokowi sebagai Presiden dan Ibu Mega sebagai Ketua Umum PDIP.
Kedua, hingga saat ini,
PDIP belum menentukan calonnya untuk Pilpres 2024. Kata Sekjen PDI Perjuangan
Hasto Kristiyanto, Kongres V PDIP di Denpasar Bali, 8-11 Agustus 2019, sudah
memberikan hak prerogatif ketua umum untuk menentukan calon presiden dan calon
wakil presiden.
Hanya saja—yang menjadi bahan gorengan—saat
ini muncul dua nama (sekurang-kurangnya lewat berbagai survei dan deklarasi
berbagai kelompok masyarakat) yang disebut-sebut oleh masing-masing
pendukungnya sebagai calon kandidat presiden: Ketua DPR RI Puan Maharani dan
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Munculnya dua nama itu telah “menimbulkan”
silang pendapat di dalam tubuh PDIP. Sekurang-kurangnya itu yang dibaca orang.
Dan, keduanya "dibentur-benturkan" oleh pihak di luar partai.
Ketiga, sejak Pak Jokowi
menghadiri Pembukaan Rakernas V Projo di Magelang, Sabtu (21/5/2022) Ganjar
juga ada, muncul anggapan dan pendapat bahwa relasi antara Pak Jokowi dan Bu
Mega, memburuk.
Sebab, pidato
Pak Jokowi dibaca, dinterpretasikan sebagai memberikan sinyal dukungan kepada
Ganjar Pranowo. Pidato itu yang lalu dimainkan, dibumbui dan disimpulkan bahwa
ada keretakan hubungan antara Pak Jokowi dan Ibu Mega.
Padahal, Pak Jokowi, pada hari Rabu (8/6/2022)
meresmikan Masjid At-Taufiq di Sekolah Partai DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta
Selatan. Pada saat itu, Pak Jokowi menandatangani prasasti peresmian masjid
disaksikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Sehari
sebelumnya, Pak Jokowi dan Ibu Mega bertemu empat mata. Pertemuan itu dilakukan
seusai Presiden Jokowi melantik Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri
sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di
Istana Negara, Jakarta.
Tetapi, hal itu tidak menghentikan
penggorengan soal relasi Pak Jokowi dan Ibu Mega. Apalagi, Ibu Mega tampak tak
hadir dalam sejumlah acara yang digelar Presiden Jokowi seperti pernikahan
adiknya, Idayati, dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, hari Kamis
(26/5). Ibu Mega juga tak hadir dalam acara peringatan Hari Lahir Pancasila
(1/6) di Ende, Nusa Tenggara Timur. Padahal, menurut sejarah, di tempat itulah
Bung Karno melakukan perenungan panjang mengenai Pancasila.
Keempat, munculnya
berbagai pernyataan dari anggota DPR F-PDIP terkait soal calon kandidat
presiden, seperti mempertegas kurang baiknya relasi Pak Jokowi dan Ibu Mega.
Bahkan, banyak mendapat kesan ada perpecahan.
Untuk meredam
isu tersebut Sekjen PDIP Hasto mengatakan,“Banyak yang tidak tahu, bahwa Ibu
Mega dan Pak Jokowi secara periodik berbicara intens membahas persoalan bangsa
dan negara. Semua dilakukan tertutup dalam suasana khusus agar mengalir gagasan
jernih, mendalam, karena terkait masa depan bangsa dan negara.”
Penjelasan itu
seperti dianggap tak cukup oleh mereka yang suka menggoreng isu. Bahkan, Pak
Jokowi di Lenteng Agung saat memberikan sambutan pada peresmian Masjid At
Taufik, mengatakan, “Ibu Mega itu seperti ibu saya sendiri. Saya sangat,
sangat, sangat menghormati beliau. Dan hubungan anak dengan ibu ini hubungan
batin.”
Sebenarnya
pernyataan Pak Jokowi tersebut menegaskan bahwa tidak ada persoalan dalam
hubungan antara dirinya dengan Ibu Mega. Semuanya fine-fine saja. Istilahnya
begitu. Seorang Ibu Pernyataan Pak Jokowi tersebut, sungguh dalam. Dalam
struktur keluarga Jawa, interaksi anak banyak terjalin dengan ibu. Hildred
Geertz dalam buku Keluarga Jawa (1983) menulis dalam sebuah keluarga, peran ibu
sangat penting.
Ibu memiliki
peran sebagai pusat keluarga. Peran ibu sebagai pendidik pemula tidak hanya
sekadar mendidik dan mengasuh, namun juga memberikan fungsi afeksi yang dapat
berpengaruh pada kondisi mental anak.
Kata Kardinal
Gaspard Mermillod (1824 – 1892), seorang ibu adalah dia yang dapat menggantikan
semua yang lain, tetapi yang tempatnya tidak dapat diambil orang lain. Oleh
sebab itu, seorang penulis dan aktivis Amerika Sarah Josepha Buell Hale
(1788-1879) mengatakan, tidak ada pengaruh yang sekuat ibu.
Maka Harry S Truman (1884 – 1972) presiden
ke-33 AS yang menjabat dari 1945 – 1953 mengatakan, Ibu adalah segalanya—dia
adalah hiburan dalam kesedihan kita, harapan dalam penderitaan, dan kekuatan
dalam kelemahan. Dia adalah sumber cinta, kasih sayang, simpati, dan ampunan.
Orang yang kehilangan ibunya telah kehilangan
jiwa murni yang selalu memberkati dan melindunginya. Ibu adalah sosok yang
“sakti”. Dalam bahasa Jawa disebut dengan malati, bertulah.
Doa ibu untuk
anaknya acap memiliki kemujaraban. Terhadap perjalanan anak, restu ibu ibarat
pembuka sekaligus pelapang jalan bagi anak untuk mencapai cita-cita. Ada
beragam bentuk restu ibu. Maka surga pun ada di telapak kaki ibu.
Banyak legenda yang menceritakan tentang ibu
yang sakti, yang omongannya malati. Misalnya, legenda Minangkabau mengenai
sepata, kutukan Bundo terhadap Malin Kundang yang menjadi batu lantaran durhaka
kepada ibu kandungnya.Dongeng Joko Budheg berubah menjadi batu juga akibat
terkena sepata embok, lantaran Joko tidak menyahuti panggilannya.
Dalam ungkapan
yang indah Gibran Kahlil Gibran (1883-1931) penulis, penyair kondang asal
Lebanon yang juga disebut filsuf mengatakan, “Ibu, kata terindah di bibir umat
manusia.” Karena itu, kalau Pak Jokowi mengatakan, “Ibu Mega itu seperti ibu
saya sendiri. Saya sangat, sangat, sangat menghormati beliau. Dan hubungan anak
dengan ibu ini hubungan batin,” adalah sungguh sangat dalam maknanya.
Pak Jokowi
benar-benar bisa menempatkan diri di mana harus “duduk” dan berada, meskipun ia
seorang presiden. Ibu sangat paham bahwa kadang-kadang anaknya
"nakal", namun tidak akan meninggalkan ibu.
Taktik dan
Strategi Kata kuncinya adalah “hubungan batin”, seperti dikatakan Pak Jokowi.
Suatu hal yang tidak diketahui kecuali oleh keduanya. Seperti kata Hasto,
keduanya secara periodik berbicara intens membahas persoalan bangsa negara.
Semua dilakukan tertutup dalam suasana khusus agar mengalir gagasan jernih,
mendalam, karena terkait masa depan bangsa dan negara.
Barangkali, dalam hal calon yang akan
dijadikan kandidat presiden pada Pilpres 2024, antara Pak Jokowi dan Ibu Mega,
sama. Kiranya keduanya hanya berbeda dalam hal taktik, tetapi sama dalam hal
strategi. Taktik boleh berbeda, asal strategi tetap sama untuk tujuan yang
sama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan, taktik mempunyai empat arti, yakni muslihat, rencana atau tindakan yang bersistem untuk mencapai tujuan, pelaksanaan strategi, dan siasat. Atau dengan kata lain, taktik adalah rencana atau tindakan yang bersistem untuk mencapai tujuan; pelaksanaan strategi; siasat.
Sedangkan
strategi menurut KBBI, berarti: "1 ilmu dan seni menggunakan semua sumber
daya bangsa(-bangsa) untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan
damai; 2 ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam
perang, dalam kondisi yang menguntungkan: sebagai komandan ia memang menguasai
betul -- seorang perwira di medan perang; 3 rencana yang cermat mengenai
kegiatan untuk mencapai sasaran khusus; 4 tempat yang baik menurut siasat
perang."
Siapa pun
calonnya yang akan diajukan PDIP nanti, antara Pak Jokowi dan Ibu Mega, bisa
dikatakan ada kesatuan pikiran, hati, sikap, niat, dan tekad. Keduanya,
bersehati dan bertekad untuk mempertahankan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, melanjutkan pembangunan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat
sesuasi dengan cita-cita para Bapak Bangsa, serta merawat, mempertahankan
persatuan kesatuan bangsa dan negara.
Siapakah yang dinilai dan diyakini akan mampu
dan bisa menjalankan itu semua? Hanya Ibu Mega yang tahu, sesuai dengan hasil
Kongres V PDIP di Denpasar. Tetapi, kata orang-orang tua, seorang ibu bisa
mengerti sesuatu yang tidak dikatakan oleh anaknya.( Artikel ini telah tayang
di Kompas.com dengan judul "Pak Jokowi dan Ibu
Mega", (Sup)
Posting Komentar