“KETIBAN PULUNG”
Ilustrasi gambar: Istimewa
Kesatu
Saya lahir dan tumbuh, menjadi dewasa di desa. Masa itu, suasana
kehidupan di desa betul-betul nyaman, aman, dan damai. Keakraban, keguyuban, keramahan,
saling peduli, saling menghormati, dan gotong royong antar-warga, masih begitu
kental.
Sekarang ini beberapa hal sudah luntur. Yang paling mencolok
adalah makin pudarnya kerukunan antar-penduduk desa yang beda agama. Dulu,
perbedaan agama tak pernah jadi soal. Kenapa sekarang jadi soal?
Yang juga masih saya ingat, setiap kali ada pemilihan kepala
dukuh dan lurah, pasti ada sebuah “ritual.” Pagi-pagi jauh sebelum matahari
terbit sekitar subuh, penduduk desa, keluar rumah. Mereka menuju ke tempat yang
terbuka, yang bisa melihat langit tak terhalangi, biasanya di daerah
persawahan.
Di tempat itu, mereka menunggu pertanda dari langit, yang akan
menjadi petunjuk siapa yang direstui Kuasa Langit untuk memimpin mereka. Tanda
dari Kuasa Langit itu bisa berupa andaru (ndaru) atau pulung.
Biasanya, menurut cerita orang-orang tua, ndaru berwujud cahaya
bercorak kuning kemilau yang pinggirnya kemerah-merahan. Seseorang yang ketiban
sinar ndaru akan memperoleh anugerah. Ini bisa berupa jabatan atau kekayaan.
Kalau andaru berwujud
cahaya kuning, pulung yang
juga jatuh dari langit bercorak biru kehijauan. Umumnya seorang yang
kejatuhan pulung,
akan menjadi orang terhormat, disegani.
Orang yang ketiban ndaru,
akan sangat berbahagia, mendapat keberuntungan. Maka ada istilah “koyo ketiban ndaru”,
maksudnya mendapat kebahagiaan tak terkira, dalam berbagai rupa seperti
kejatuhan ndaru.
Bila ndaru atau pulung jatuh ke rumah
salah seorang calon, kandidat dukuh atau lurah, itu berarti dialah yang
diyakini nanti akan memenangi pemilihan. Maka orang pun lalu memburu, andaru, memburu pulung. Itu cerita dulu.
Cerita orang desa.
Gambar ilustrasi:
Istimewa
Kedua
Mengapa orang, terutama Jawa, percaya pada tanda-tanda seperti misalnya andaru
dan pulung? Karena kepemimpinan Jawa, antara lain bersifat metafisis
(Suwardi Endraswara, 2013). Artinya selalu dikaitkan dengan hal-hal metafisik
seperti wahyu, ndaru,
pulung, drajat, keturunan (nunggak
semi) dan sebagainya.
Dengan itu, seolah-olah kemampuan memimpin seseorang bukan
sebagai suatu capability,
bukan hasil dari pengalaman panjang dan belajar dari bangku sekolah serta
bangku kehidupan, tetapi lebih condong sebagai miracle. Mukjizat yang
diturunkan dari langit.
Karena kepemimpinan itu bersifat metafisis, maka dulu (semoga
sekarang, tidak) untuk mendapatkannya orang banyak melakukan
ritual-ritual seperti bertapa kungkum, minta restu pada “orang pinter”, membeli
ajimat bisa berupa keris atau batu atau gelang dan sebagainya. Hal-hal seperti
itu hingga kini masih dilakukan sementara orang.
Apakah sekarang orang masih memburu pulung atau andaru? Kalau masih, tentu
Kuasa Langit akan menjatuhkan entah andaru atau pulung bukan pada orang yang
bertapa kungkum,
bukan pula pada yang bertanya kepada “orang pinter”, dan juga pada orang yang
memiliki ajimat-ajimat.
Tetapi kiranya pada orang yang bisa dipercaya (punya
kredibilitas), yang berintegritas, yang punya kompetensi, yang jujur, yang
sejalan antara apa yang diomongkan dan dilakukan, yang bekerja untuk
seluruh rakyat, yang tidak hanya pinter ngomong tetapi tak pandai bekerja,
yang amanah, yang punya compassion terhadap
penderitaan orang lain, yang toleran, yang tidak mementingkan dirinya
sendiri..dan masih banyak lagi yang memiliki hal-hal baik yang berguna bagi
orang banyak.
Saya kira, Kuasa Langit juga hanya akan menjatuhkan andaru atau pulung pada orang yang memiliki track record yang baik sebagai pemimpin; yang mempunyai komitmen dan selalu mengabdi untuk rakyat didasarkan oleh kewajiban yang harus dilaksanakan atas amanah yang telah diberikan dan melaksanakan janji-janji yang pernah disebutkan.
Ilustrasi gambar: Istimewa
Ketiga
Apakah Kuasa Langit (Kuasa Terang) selalu menang? Artinya yang dipilih akan
memenangkan pertarungan. Tidak juga. Banyak kali Kuasa Bawah Tanah (Kuasa
Kegelapan) yang memenangi pertarungan.
Mengapa bisa demikian? Karena mata hati manusia telah tertutup
dan dikuasai Kuasa Kegelapan. Mereka tidak melihat bahwa ada orang atau tokoh
yang memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin yang baik. Mereka lebih melihat
orang yang hanya berjubah pemimpin.
Sementara itu hal-hal yang terkait, misalnya, dengan
kapabilitis, kompetensi, dan kredibilitas, kurang diperhatikan…. Apakah dengan
demikian Kuasa Langit, salah? Tidak! Kuasa Langit tidak pernah salah. Manusialah
yang kanggon kesekengan…sehingga bisa salah dan membuat kesalahan.
Karena itu, masyarakat jangan salah pilih, harus
benar-benar hati-hati, cermat, kritis memilih seorang calon pemimpin yang
sungguh ketiban andaru atau pulung. Jangan sampai
masyarakat terpukau oleh hal-hal yang kemilau saja, agar tidak kecewa di
kemudian hari.
Kata Sri Sultan Hamengkubuwono X (2008) masyarakat jangan
tertipu oleh orang yang hanya mengejar kekuasaan dan tidak menjadikan kekuasaan
sebagai suatu amanah. Sebab, jika hanya memerebutkan kekuasaan maka
pemimpin itu hanya fokus pada kekuasaan dan akan lupa pada rakyatnya yang
memberikan amanah untuk berkuasa.
Yang harus dicari adalah seorang pemimpin, leader. Sebab, leader selalu
ingin melakukan perubahan untuk kebaikan, ingin membuat sejarah untuk bangsa
dan negaranya. Jadi, bukan orang yang ingin setiap hari menjadi berita: namanya
ditulis di koran-koran, media sosial, disebut-sebut penyiar radio, wajahnya
nongol di televisi. Kalau hanya itu keinginannya, tak ubahnya seperti seorang
selebritas.
Yah, kita tunggu dan lihat saja sampai waktunya tiba, siapa dari
sederet nama yang selama ini disebut-sebut media akan mencalonkan diri atau
dicalonkan atau merasa diri akan dicalonkan sebagai kandidat presiden yang akan
kejatuhan andaru atau pulung. Dan, sungguh-sungguh
seorang leader bukan celebrity.
Kita tunggu kepada siapa pulung dan ndaru akan jatuh…***(Sup)
Posting Komentar