BAKMI JAWA
Dua bulan lalu, saya pulang kampung, ke Yogya. Dan, bertemu dengan beberapa kawan sekolah waktu SMA dulu. Agenda utama saat ketemu mereka: makan Bakmi Jawa. Sepertinya biasa saja, makan Bakmi Jawa.
Tetapi, makan Bakmi Jawa bagi
kami adalah semacam ritual, yang harus dilakukan saat bertemu. Ritual peneguh
persahabatan dan persaudaraan. Karena ritual, kami tidak bosan-bosan
melakukannya, kapan pun bertemu. Padahal, di Yogya ada begitu banyak pilihan
kuliner, makanan. Tapi, ya… ujung-ujungnya pilihannya jatuh pada Bakmi Jawa.
Persahabatan itu sangat penting.
Kata Horatius (65 – 8 SM) penyair Romawi, Amicus dimidium animae meae,
sahabat adalah belahan jiwaku. Karena belahan jiwa, maka ada yang mengatakan,
sahabat adalah diriku yang lain.
Tetapi, dalam praktiknya tidak
jarang persahabatan direduksi secara eksklusif pada “in group”, “kami bukan
kita” dan lebih parahnya lagi disuburkan oleh mentalitas primordial yang dari
waktu ke waktu terasa makin kuat. Mereka yang tidak sepaham dengan nilai-nilai
yang dihayati “in group”, dipandang
sebagai “yang lain”, liyan.
Bahkan, diperlakukan sebagai lawan yang berbahaya. Dan, dimasukkan ke dalam
kotak “mereka” bukan “kita”.
***
Kata Pak Jokowi, “Ojo kesusu.”
(Foto: Kompas.com)
Itulah sebabnya, makan
Bakmi Jawa mungkin menjadi semacam Marbinda
(menyembelih hewan yang kemudian dibagikan kepada masyarakat) yakni tradisi
pengikat persaudaraan orang Batak, saudara kita. Mungkin juga semacam tradisi
makan bakcang masyarakat Thionghoa. Tradisi ini bukan hanya sekadar acara
makan semata, tapi mengingatkan pentingnya mempererat persaudaraan.
Kami pun demikian. Makan bakmi
untuk mempererat persahabatan dan persaudaraan. Mereka yang senang dan suka
Bakmi Jawa, seperti kami, berpendapat bahwa Bakmi Jawa bukanlah mie rebus atau
mie goreng biasa.
Menurut cerita, bakmi (mi atau
mie) berasal dari China. Pada tahun 2005, ditemukan bukti-bukti sejarah bahwa
bakmi sudah ada sejak zaman Dinasti Han Timur, sekitar tahun 25 – 220
Masehi. Masuk ke wilayah yang sekarang bernama Indonesia dibawa oleh para imigran
China. Kapan? Nggak ada yang tahu persis. Karena kedatangan para imigran itu
tidak sekali tetapi bergelombang.
Mie–menurut budaya China adalah
simbol panjang umur, kebahagiaan, dan rezeki– setelah masuk Yogyakarta menjadi
bakmi, bahkan Bakmi Jawa. Mengapa?
Alasan pertama, tentu, untuk
membedakan dengan yang asli. Bakmi Jawa bukan Mie China. Kedua, yang beda bukan
hanya namanya, rasanya pun beda disesuaikan dengan selera rasa, lidah
orang-orang Yogya (walau kemudian diterima oleh orang-orang luar Yogya). Beda
rasa karena bumbunya berbeda.
Bakmi Jawa menggunakan kemiri
agar gurih rasanya, yang digoreng terlebih dahulu (ada yang memilih tidak
berbumbu kemiri). Bakmi China tidak. Selain kemiri, Bakmi Jawa juga
menggunakan telur bebek atau ayam, daging ayam kampung suwir, daun bawang,
tomat, kobis, lalu ditaburi bawang merah goreng dan rajangan daun seledri. Yang
suka cabe rawit, bisa tambah cabe rawit dan acar timun-bawang merah.
Dan dimakan ketika kuah masih
panas….wow, enaknya. Meskipun harus sabar makannya. Pelan-pelan karena panas,
ditiup-tiup dulu sambil menikmati harum lezat, gurih bakmi yang menguar. Inilah
salah satu, bahasa menterengnya filosofi, makan Bakmi Jawa: Belajar sabar.
Pelajaran kesabaran itu juga
diberikan saat menunggu pesanan. Biasanya lama. Karena Bakmi Jawa dimasak
per porsi dengan menggunakan anglo (tungku dari tanah liat), dan
berbahan bakar arang. Selain proses masaknya sedikit lama, biasanya juga
harus antre untuk dilayani. Apalagi makan di warung Bakmi Jawa yang
kondang. Bahkan, untuk nambah pun harus antre.
Makan Bakmi Jawa memang diajari
sabar dan tertib mengikuti aturan (antre) dan proses. Tidak bisa bermental
instan, minta didahulukan karena sudah lapar sekali. Tidak bisa potong kompas,
minta prioritas. Tidak bisa mempercepat proses. Tidak bisa juga menggunakan
katabelece agar cepat dilayani. Pejabat atau rakyat biasa, sama saja: antre.
Priyayi atau pidak
pedarakan, hina dina sami mawon: antre.
Pendek kata, semua ada
tahapannya. Tidak bisa kesusu. Ojo
kesusu, kata Pak Jokowi. Kalau waktunya belum tiba, belum bisa juga
menikmati bakmi. Harus cukup puas melihat orang
lain menikmati bakmi panas dengan lahapnya. Semua ada waktunya, seperti
dikatakan Sang Pengkhotbah: Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di
bawah langit ada waktunya.
Seorang anak kecil pun tidak
tiba-tiba mampu berjalan. Ia harus melalui tahapan merangkak, sebelum bisa
berdiri tegak. Ketika pertama bisa berjalan pun tidak lantas bisa langsung
berlari. Karena belum mampu menjaga keseimbangan tubuh. Baru setelah mampu
menjaga kesimbangan tubuh, bocah itu bisa berjalan cepat dan akhirnya lari.
Karena semua ada waktunya, maka
tidak bisa nggege mangsa,
jangan memaksakan diri dalam memperoleh hasil sebelum waktunya. Hari masih
pagi, sudah ingin berkuasa. Tetapi, tidak mempertimbangkan
kemampuannya untuk menanggung beban tanggung jawab sebagai seorang
pemimpin.(Sup)
Posting Komentar