Ya, apa yang salah di negeri ini, Bung? Begitu pertanyaan
seorang kawan, suatu sore pada hari Rabu, sebagaimana biasanya kami bertemu,
untuk ngobrol dan ngopi. Kawan itu bertanya setelah jagad media sosial juga
media online ramai membahas cuitan soal stupa di Candi Borobudur.
Memang, ada-ada saja yang dijadikan sebagai bahan untuk menyulut
keributan, kehebohan, dan kegaduhan. Dan, ada pula orang yang hobi mencari-cari
hal untuk diributkan, digoreng-goreng, dibumbu-bumbuin, dan kemudian
disebarluaskan lewat media sosial.
Lantas–kalau sudah ribut, hiruk-pikuk, gaduh, muncul beragam
komentar dari segala penjuru dan dari berbagai orang baik dari orang
biasa sampai yang tidak biasa, media sosial heboh, muncul kebencian,
masuk ke ranah hukum–minta maaf. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Padahal kata orang, “the
damage has been done.” Maka, ucapan minta maaf itu sama sekali
tak memulihkan keadaan. Memang, minta maaf itu penting. Itu adalah ekspresi,
ungkapan dari rasa bersalah, pengakuan telah berbuat salah. Tetapi, sekali
lagi, kerusakan telah terjadi. Anyaman tikar kebangsaan, robek sudah.
Dan hal seperti itu, berulangkali terjadi, dilakukan oleh
berbagai orang dengan beragam motivasi, bermacam-macam kehendak hati dan
tujuan. Seperti nggak ada persoalan yang lebih penting bagi bangsa dan negara
ini ketimbang bikin bising heboh, gaduh, menebar hoaks, berita bohong,
kebencian, dan juga isu-isu yang memecah-belah.
***
Ilustrasi gambar: Istimewa
Layak dan pantas, kalau ada yang bertanya: Mengapa orang suka
membuat keributan? Mengapa orang senang membuat kegaduhan? Apa yang ia atau
mereka cari? Apakah mencari keuntungan politik? Keuntungan finansial? Melemahkan
pemerintah atau mau menunjukkan bahwa pemerintah tak berdaya? Perpecahan
bangsa? Atau sekadar cari popularitas?
Ya, banyak memang sekarang ini yang mencari popularitas. Tidak
hanya politisi yang senang mencari popularitas, tapi juga pejabat atau yang sudah
mantan, pemimpin agama, dan juga rakyat biasa. Popularitas adalah tingkat
keterkenalan di mata publik. Berbagai cara dilakukan untuk popular, mulai dari
cara yang elegan sampai yang, katakanlah, recehan. Maka disebut popularitas
murahan, popularitas recehan.
Dikiranya, popularitas itu segala-galanya. Padahal, popularitas
itu bukan segala-galanya. Apalagi jika popularitas itu semu karena diperoleh
melalui rekayasa sedemikian rupa tanpa usaha maksimum. Barangkali seperti “buah
karbitan”, terlihat masak, matang tapi nggak manis sama sekali.
Dalam politik, misalnya, popularitas tidak cukup menjamin
seseorang untuk memperoleh suara yang memadai dari konstituen. Benar, bahwa
politik adalah art of
possibilities (definisi politik menurut Otto von Bismarck,
1815-1898, perdana menteri Prussia dan pendiri serta kanselir pertama
Kekaisaran Jerman) tetapi art
of possibilities juga membutuhkan strategi, dan strategi itu
tidak hanya citra.
Ada lagi yang merasa menjadi polisi kebenaran. Memang, memegang
kebenaran merupakan keharusan. Akan tetapi kalau lantas merasa diri paling
benar, paling saleh, paling bersih, dan paling suci, itu menjadi persoalan
lain.
Sudah merasa paling benar, lantas mengklaim sebagai pemegang
kunci surga. Dan, seenaknya saja menentukan siapa yang akan masuk surga dan
siapa yang akan dibuang ke neraka jahanam yang disana hanya ada ratap tangis
dan geretak gigi. Saat itu, merasa seolah dirinya duduk di atas tahta kebenaran
yang paling tinggi.
Padahal kata pepatah, ingat di atas langit ada langit. Nasihat
orang-orang tua Jawa Aja
dadi uwong sing rumangsa bisa lan rumangsa pinter. Nanging dadiya uwong sing
bisa lan pinter rumangsa. Jangan jadi orang yang merasa bisa dan
merasa pintar tetapi jadilah orang yang bisa dan pintar merasa.
***
Acap-kali, hati ini bertanya: Mengapa orang-orang yang semestinya memberikan
pernyataan adem,
menyejukkan, menenteramkan justru melakukan hal sebaliknya. Ibarat kata mereka
justru menyiramkan bensin ke api.
Mungkin, lupa posisinya, lupa akan dirinya itu siapa. Maka
benarlah bunyi pepatah lama ini, Stultus
nil celat; quod habet sub corde revelat. Orang yang bodoh tak
menyembunyikan apa pun, ia mengungkapkan semua isi hatinya.
Kata Mark Twain (1835-1910) seorang penulis kondang dari
Amerika, lebih baik menjaga mulut Anda tetap tertutup dan membiarkan orang lain
menganggap Anda bodoh, daripada membuka mulut Anda dan menegaskan semua
anggapan mereka.
Akhirnya Bung, maaf saya tidak bisa menjawab pertanyaan situ:
Apa yang salah di negeri ini? ***(Sup)
Posting Komentar