NGOBROL CAPRES
Balon-balon berwarna-warni….. (Ilustrasi gambar: Istimewa)Pertama
Hari
Rabu malam lalu, seperti biasa, kami berlima berkumpul ngobrol sambil ngopi dan
ngeteh. Salah seorang kawan menyebutnya sebagai “Majelis Reboan”, walau yang
kumpul hanya lima orang. Yang lain menamai “Jemaat Reboan”. Yang biasa
berpikiran praktis menyebutnya sebagai “Ngobrol Raboan.”
Apa
pun namanya, tapi pertemuan kami setiap Rabu, bermanfaat, sekurang-kurangnya
kami bisa bertemu, ngobrol, ngopi, ngeteh, makan-makan (kadang-kadang makan
besar tetapi lebih biasa makanan kecil), dan tertawa bersama. Tertawa itu
penting di zaman seperti sekarang-sekarang ini.
Obrolan
kami kali ini, didominasi isu politik. Lebih khususnya lagi, politik menuju
istana. Topik itu menarik. Sebab, bukankah sudah banyak orang ingin masuk
istana menjadi orang nomor satu di negeri ini. Bahkan ada juga yang sudah tidak
sabar, ingin buru-buru, sampai-sampai nggak mau menunggu hingga Februari 2024,
saat dilaksanakan pemilu presiden. Lalu menggelar demo dengan alasan-alasan
yang dibuat-buat.
Kata
orang Jawa, itulah sikap nggege
mangsa (mendahului dan mangsa atau waktu). Ini
terkait erat dengan sikap hidup dan kaitan jati diri manusia sebagai individu,
sosial dan umat ciptaan Tuhan.
Ungkapan aja nggege mangsa adalah
nasihat agar dalam upaya mencapai maksud atau cita-cita tertentu, orang harus
mampu mengendalikan dirinya. Tidak menghalalkan segala cara, termasuk dalam hal
ini, berbuat curang atau berjualan agama, bermain sektarian yang sangat
berisiko memecah-belah bangsa.
Tanpa
didasari oleh pengendalian diri dan keyakinan bahwa segalanya akan ditentukan
oleh Tuhan, seseorang seringkali tergelincir pada sikap nggege mangsa . Padahal, dalam hidup
kita ini selalu ada invisible
hand (istilah Adam Smith) atau providentia Dei, penyelenggaraan
Ilahi.
Seperti
dikatakan dalam filosofi Jawa bahwa dalam mencapai suatu keinginan atau
cita-cita, seseorang dianjurkan untuk mbudidaya
linambaran nyenyuwun marang Gusti (berusaha sambil
memohon kepada Tuhan). Tidak ada istilah potong kompas, menerabas. Sikap ini
mencerminkan adanya pengakuan bahwa ada providentia
Dei ada invisible
hand.
Dari
keinginan yang tidak terkendali itu, seseorang bisa terperosok pada tindakan
negatif asal tujuan atau keinginannya tercapai. Ini yang banyak dilakukan
orang selama ini. Tak pandang buku, baik terdidik maupun yang kurang terdidik.
Kedua
Kami ngomongin soal cara-cara, taktik dan strategi yang digunakan para calon
(belum resmi) presiden. Ada sejumlah tokoh (juga yang menokohkan diri) politik
dan pemerintahan yang mengincar kursi istana yang akan ditinggalkan Presiden
Jokowi tahun 2024
Sangat
menarik mengamati sepak terjang, polah tingkah, lagak lagu, gaya, tipu daya,
bujuk rayu, dan juga sandiwara yang mereka mainkan. Ya namanya mau nebar
simpati pada rakyak pemilik suara yang diharapan akan memilihnya, maka segala
daya upaya dilakukan.
Maka
berlakulah politik pencitraan. Pencitraan dilakukan melalui berbagai
taktik; fanpage, twitter, blog,
publikasi media online arus
utama, dan media sosial serta cara-cara tradisional dengan melakukan berbagai
kegiatan, safari menemui ketua partai politik dan juga ulama, pemimpin
pesantren, para pemimpin agama, bikin pernyataan serta bagi-bagi duit entah
dari mana asal duitnya.
Hal
semacam itu terjadi di mana-mana. Artinya tidak hanya di Indonesia. Tetapi,
yang terjadi di negeri ini boleh dikatakan unik. Misalnya, mencitrakan diri
sebagai orang yang dijadikan korban dan melakukan kesalahan yang dilakukannya
kepada orang lain, playing
victim. Dengan kata lain melempar kesalahan yang dilakukannya
kepada orang lain. Seseorang bersikap seolah-olah dirinya sebagai korban pihak
lain; dizolimi. Jurus ini dilakukan untuk mencari simpati.
Kata
orang pandai, jurus playing
victim ini adalah jurus lama. Adalah ahli seni perang dari
Tiongkok, Sun Tzu, yang disebut-sebut menyinggung soal playing victim ini. Dalam
strategi ke-34 sub bab Strategi Kalah, Sun Tzu menulis “Lukai diri sendiri
untuk mendapatkan kepercayaan musuh (masuk ke dalam jebakan, jadilah umpan)”.
Kalau di sini, yang dilakukan adalah membiarkan dirinya dikritik, dikecam,
dibuli habis-habisan oleh lawan-lawan politik atau orang-orang tidak suka.
Kadang
juga dengan sengaja melalukan tindakan bodoh, tidak bermutu, kontroversial agar
dikecam, dikritik, diomongin banyak orang, diejek, diolok-olok, digebuk pihak
yang tidak suka. Semakin digebuk, semakin menjulang dia. Ibarat kata ini
promosi gratis. Dan, hasilnya, elektabilitas naik tanpa perlu mengeluarkan
biaya promosi.
Jurus
seperti itu tidak selalu berakhir sesuai harapan, memang. Tapi, dinilai cukup
ampuh untuk menggiring opini masyarakat. Permainan kata-kata dan taktik mulus
memang terbukti banyak mengelabui dan digunakan dalam berbagai situasi.
Ketiga
Ada lagi yang main dengan negara lain, untuk meraih kepentingan dalam negeri
atau malah menjadikan dirinya sebagai pion negara lain. Menurut laporan
komunitas intelijen AS, Rusia berusaha membantu Donald Trump dalam pilpres di
AS (2016)
Kantor
berita AP (2020)
mengungkapkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin mengesahkan operasi untuk
membantu Donald Trump dalam pemilihan presiden November 2029. Rusia juga
dituding Inggris (2019) berusaha ikut campur dalam Pemilu 2019, antara
lain dengan mencuri dokumen sensitif tentang perjanjian perdagangan bebas yang
direncanakan Inggris dan AS dan membocorkannya secara online (DW)
Sebaliknya,
sebagai negara yang mengklaim pengawal demokrasi, banyak diberitakan
bahwa AS lewat dinas intelijennya (CIA) membantu menggulingkan pemimpin terpilih
negara lain lalu mendirikan rezim boneka. Dov Levin dalam Meddling in the Ballot Box, AS dan
Uni Soviet (dan kemudian Rusia) terlibat dalam 117 tindakan campur tangan
secara terselubung atau terbuka pada pemilu untuk membantu atau menjegal
kandidat atau partai di negara lain antara tahun 1946 dan 2000. AS
melakukan 81 kasus campur tangan (atau 69 persen dari jumlah total kasus).
Misalnya,
di Guatemala pada 1950-an dan mendukung kudeta di sejumlah negara pada
1960-an, termasuk merancang pembunuhan dan menyokong pemerintah anti-komunis di
Amerika Latin, Afrika, dan Asia.
Bukan
tidak mungkin demi kekuasaan di tangan ada orang yang nekad menggadaikan negeri
kepada negara asing seperti Amerika Serikat dan China. Pasti ada yang tergiur
untuk menerima “gadaian” itu. Sebab, kekayaan alam Indonesia selama ini selalu
menggoda pihak asing untuk datang dan mengambil alih. Caranya, antara lain
mendukung kandidat presiden. Balasannya nanti akan menjadi “bonekanya”.
Tapi,
ini tindakan gila. Meskipun bukan tidak mungkin ada orang yang bertindak gila
demi kekuasaan. Sebab, katanya kekuasaan itu selalu tremendum et fascinosum (menggentarkan
sekaligus mengagumkan)….yah, seperti Sang Pencipta yang oleh teolog Protestan
Rudolf Otto (1869 – 1937) disebut memiliki misteri yang menggentarkan sekaligus
mengagumkan (mysterium tremendum et
fascinosum). Begitulah kekuasaan yang memiliki banyak wajah. Akan
menjadi seperti apa kekuasaan itu, tergantung yang memegangnya.
Keempat
Zaman sekarang ini, tidak sulit untuk menonton sepak-terjang, perilaku, polah
tingkah, lagak lagu, gaya, tipu daya, bujuk rayu, dan termasuk sandiwara
yang mereka mainkan, termasuk di atas sudah disebut main playing victim. Media sosial
menyebarkan semua yang mereka lakukan secara merdeka.
Semua
orang–politisi dan tokoh pemerintah–yang disebut-sebut atau menyebut dirinya
secara terang-terangan atau malu-malu kucing sebagai calon kandidat presiden,
sudah naik panggung. Ada-ada saja yang mereka lalukan. Yakni, mulai dari yang
berkelas sampai ke yang sama sekali tak berkelas alias norak. Ada yang
“menyebar” sumbangan dana kepada berbagai ormas, termasuk ormas keagamaan.
Ya,
ibarat kata, sekarang ini saat menebar benih, siapa tahu nanti tubuh dan
berbuah. Dan, buahnya banyak. Meski, rakyat yang pintar sudah tahu dan paham,
benih-benih itu disebar hanya sekadar untuk mencari simpati.
Ada
yang menyebut dirinya atau disebut memiliki darah biru (bangsawan), ulama,
bahkan keturunan nabi. Ada pula yang berusaha meyakinkan bahwa dalam dirinya
mengalir seratus persen darah asli Indonesia. Ah, segala cara dilakukan
termasuk ziarah kubur.
Yang
tidak ketinggalan, seperti yang sudah-sudah, agama pun dimainkan. Sentimen
agama memang kuat bagi yang berpikiran terbatas, tidak memikirkan masa depan
negara, terutama menyangkut persatuan dan kesatuan. Permainan agama ini lantas
secara sigap disambut oleh mereka yang suka jualan agama. Ini sudah banyak kali
dilakukan dan naga-naganya akan dilakukan lagi.
Salahkan
semua itu? Tidak juga. Hanya, apakah cara-cara semacam itu mendidik, membuat
rakyat tambah cerdas, pintar, berpikiran terbuka atau justru membuat rakyat
semakin bodoh dan berpikiran sempit?
Kita
sih, menunggu mereka itu melakukan kampanye (walau belum resmi dimulai) yang
cerdas, yang tidak lagi main agama, yang tidak mengusung sektarianisne, tetapi
yang memberikan harapan dan menunjukkan jalan ke Indonesia baru yang maju.
Tetapi
repotnya, proses pengambilan keputusan memilih sesorang itu tidak selamanya
dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program partai maupun oleh
informasi-informasi yang membangun brand
politik. Proses memilih itu bisa jadi dipengaruhi kuat
oleh impression (keterkesanan)
dan nonrational evaluation criteria (kriteria
yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para
kandidat/parpol).
Maka
itu, para calon kandidat presiden sekarang ini lagi pada nebar impresi ke
tengah masyarakat. (Sup)
Posting Komentar