MEDSOS DAN KEMENANGAN BONGBONG
Kemenangan
Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr, dalam pemilu presiden 9 Mei lalu di Filipina
menarik perhatian, sekaligus meninggalkan setumpuk pertanyaan bagi banyak
orang. Meskipun hasil berbagai survei menjelang pemilu menunjukkan dia unggul.
Maka, hampir 40 tahun setelah jatuhnya diktator Ferdinand Marcos Sr, kini
Filipina seperti menulis sejarah baru.
Apakah
rakyat Filipina sudah memaafkan (mengampuni) “dosa-dosa” ayahnya, Ferdinand
Marcos Sr? Marcos yang menggenggam kekuasaan Filipina selama 21 tahun
(1965-1986) dikenal sebagai diktator kejam, brutal, dan karena kekayaan haram
besar yang dikumpulkan oleh keluarga Marcos dan kroni-kroninya, rezim Marcos
disebut kleptokrasi (dari kata Yunani untuk pencuri dan penguasa).
Selama berkuasa, demi mempertahankan kekuasaannya, Marcos Sr tidak hanya
menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara kejam (mis. Senator Benigno “Ninoy”
Aquino pada tahun 1984 ditembak di bandara sepulang dari AS). Ia juga
memberlakukan undang-undang darurat mulai 22 September 1972 hingga 1981.
Setelah 1981, meski secara resmi undang-undang darurat sudah tidak diberlakukan,
Marcos tetap memertahankan kekuasaan hukum undang-undang darurat sampai ia
digulingkan tahun 1986.
Maka, pemerintahannya pun lalu dicap sebagsi “otoritarianisme konstitusional” (constitutional authoritarianism) atau
juga disebut authoritarian constitutionalism (Foreign Affairs, April 1974).
Kekuasaan diktatorial itu–yang didukung militer–dilakukan lewat partainya Kilusang Bagong Lipunan atau
Gerakan Masyarakat Baru (Asian
Geographic, 22 April 2021).
Dengan kekuasaannya itu, ia menjebloskan tak kurang dari 600 lawan politiknya
ke penjara militer dan 246 pastor dan biarawati Katolik. Ia menuduh Gereja
Katolik menggunakan stasion radio dan selebaran untuk melakukan subversi (The
New York Times, 6 November 1977).
Marcos
juga disebut sebagai penguasa yang korup dan ekstravagansa. Ia mampu
menggunakan posisinya sebagai presiden untuk menjadi salah satu pencuri
terbesar dalam sejarah negerinya. Diperkirakan Marcos mencuri setidaknya 10
miliar dollar AS. Korupsi di bawah rezim Marcos dilakukan dengan cara mulai
dari mencatut bantuan asing dan militer hingga membangun sistem kapitalisme
kroni domestik. Ia dan kroninya melakukan pencucian uang. Yurisdiksi pencucian
uang yang disukai untuk Marcos termasuk Swiss dan Liechtenstein (David Chaikin
dan JC Sharman, 2009).
Menurut putusan Mahkamah Agung (2003), aset yang dianggap haram termasuk
kekayaan Marcos yang melebihi total pendapatan legal mereka dari tahun 1965
hingga 1986. Hampir 30 tahun sejak pembentukannya tahun 1986, Presidential Commission on Good Government (PCGG)
telah berhasil menyita 167,5 miliar peso, atau sekitar 4 miliar dollar AS,
kurang dari setengah dari 10 miliar dollar AS yang diyakini telah dikumpulkan
oleh Marcos (Inquirer.net, 29
September 2014)
Masih banyak cerita lainnya berkait dengan penyalahgunaan kekuasaan oleh Marcos
dan kroninya. Semua itu berakhir pada Februari 1986, ketika pecah Revolusi
Kekuatan Rakyat (People Power Revolution).
Ia jatuh; melarikan diri, meninggal di pengasingan, 1989. Namun, ternyata
hampir 40 tahun kemudian dinasti mereka masih hidup bahkan merebut kekuasaan
kembali.
Apakah rakyat Filipina telah mengapus “dosa-dosa” Marcos dan kroninya sehingga
kemarin memilih Bongbong sebagai presiden ke-17 Filipina? Apakah rakyat
Filipina mudah lupa atau mudah melupakan tragedi yang mereka alami? Atau ada
sebab-sebab lain? Misalnya, memang Bongbong layak dan pantas untuk dipilih
memimpin negeri yang kini menghadapi berbagai persoalan mulai dari kemiskinan
(lebih dari 16 persen hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 17,6 juta jiwa),
politik dinasti, korupsi (di birokrasi dan korupsi di pemerintahan, ditambah
nepotisme), pembelian suara (dalam pemilu dan kasus-kasus lain), pelaksanaan
hukum, hingga extrajudicial killings (terutama
di zaman pemerintahan Presiden Rodrigo Dutarte yang akan segera berakhir ini).
Menurut angka resmi pemerintah, anggota Polisi Nasional Filipina dan Badan
Penegakan Narkoba Filipina membunuh 5.903 orang selama operasi anti-narkoba
dari 1 Juli 2016 hingga 30 September 2020. Jumlah ini tidak termasuk mereka
yang dibunuh oleh orang tak dikenal, yang oleh Human Rights Watch dan pemantau HAM lainnya
adalah mereka bekerja sama dengan polisi dan pejabat setempat. Sumber lain,
seperti Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB, menyebutkan jumlah korban tewas 8.663,
meskipun kelompok HAM domestik, termasuk Komisi HAM pemerintah, percaya angka
sebenarnya bisa tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan dalam OHCHR (Human Right Watch, World Report 2021).
Media
Sosial
Menurut data Komisi Pemilu (Commission
on Elections/Comelec) jumlah pemilih yang terdaftar 65,7 juta orang
(The Filipino Times, 11
November 2021). Dari jumlah pemilih sebanyak itu, lebih dari 37 juta pemilih
(56 persen) berusia antara 18-41 tahun, dan lima juta di antaranya baru pertama
kali memilih (Nikkei Asia, 7
Mei 2022). Yang menarik, menurut Comelec, mereka yang baru pertama kali
memilih, 4.094.614 di antaranya adalah perempuan. Usia mereka antara 18 hingga
21 tahun.
Mereka ini yang mendukung kampanye-kampanye Bongbong. Sebagian besar dari
mereka lahir setelah rezim diktator Marcos berakhir (1986). Artinya tidak
mengalami zaman pemerintahan Marcos yang otoriter, yang menurut Amnesti
Internasional selama undang-undang darurat, memenjarakan 70.000 orang, menyiksa
34.000 orang, dan lebih dari 3.200 orang tewas selama itu. Tetapi pemerintah
hanya mengakui 11.103 korban, meskipun pada tahun 2013 telah mengesahkan Human Rights Victims Reparation and
Recognition Act, sebuah undang-undang yang belum pernah ada di Asia
untuk meminta pertanggungjawaban negara atas pelanggarannya (Kyodo News, 8 Maret
2022; CIPE/Center for International
for Private Interprise, 20 April 2022).
Selain, generasi muda itu tidak mengetahui apalagi mengalami zaman Marcos,
mereka sekarang hidup di zaman media sosial. Media sosial memainkan peran
sangat penting dan pengaruhnya pun sangat besar. Para propagandis Bongbong
Marcos Jr menggunakan media sosial untuk membersihkan sejarah, tujuannya untuk
memberikan “penghargaan baru” terhadap Marcos Sr (Kyodo News, 8 Maret 2022).
Kampanye
lewat sosial media untuk me-rebranding era Marcos Sr—bukan sebagai periode
darurat militer, dengan pelanggaran HAM yang mengerikan, korupsi parah,
penjarahan kas negara, dan hampir keruntuhan ekonomi, tetapi sebagai zaman
keemasan (golden age)
kemakmuran, bebas kejahatan, zaman kebebasan (BBC, 10 Mei 2022; gmanetwork.com, 23 Maret 2022). Mereka beranggapan
bahwa penggulingan Marcos Sr. adalah sebuah kesalahan. Karena, Marcos Sr. mampu
membuat Filipina lebih baik.
Kampanye
tersebut dimulai setidaknya satu dekade yang lalu. Mereka mengedit ratusan
video lalu diunggah ke Youtube,
yang kemudian diposting ulang di halaman Facebook. Ini meyakinkan jutaan orang Filipina bahwa
fitnah terhadap keluarga Marcos setelah kejatuhan mereka tidak adil, bahwa
kisah-kisah keserakahan yang tak tertandingi itu tidak benar.
“Ada
spektrum kebohongan dan distorsi dalam video-video ini,” kata Fatima Gaw dari
Departemen Riset Komunikasi Universitas Filipina. Tetapi, sebaliknya Bongbong
mengatakan, bahwa keluarganya menjadi korban informasi tidak benar.
Informasi yang mengagungkan Marcos Sr. dan mendukung Marcos Jr.
membanjiri Facebook, YouTube, TikTok, dan Twitter menjelang Pemilu 9
Mei lalu. Media sosial juga digunakan untuk menghantam kandidat lain dengan
informasi yang salah atau palsu. Dengan kata lain, media sosial memainkan peran
sangat penting dan pengaruhnya besar. Salah satu yang menjadi “medan
pertempuran” adalah Facebook,
platform yang sangat popular di Filipina dan digunakan oleh
sebagian besar dari pengguna internet.
Kata Jonathan Corpus Ong (gmanetwork.com)
seorang periset disinformasi di Universitas Massachusetts dan Harvard, kekuatan
media sosial Bongbong Marcos Jr. adalah hasil dari “investasi jangka panjang”
untuk merehabilitasi brand keluarga. CIPE menyatakan, keluarga Marcos dan
pendukungnya berhasil memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan berita palsu,
memungkinkan Marcos Jr. kembali ke panggung politik. Media sosial memanfaatkan
lembaga demokrasi Filipina yang lemah, untuk mendukung Marcos Jr. dalam
memulihkan dinastinya.
Perusahaan induk Facebook, Meta, telah menghapus hingga 400 akun dari Filipina
yang terlibat dalam aktivitas jahat menjelang pemilu. Tetapi hal itu tidak
cukup. Karena, ada ribuan lainnya di antara 91.000 pengguna di Filipina pada
pertengahan 2021. Menurut survey “We are Social” (2021) ada 73,91 juta pengguna
internet di Filipina. Temuan lain mengungkapkan, ada 89 juta pengguna media
sosial di Filipina pada tahun 2021, meningkat 22 persen dari tahun 2020.
Jumlah pengguna media sosial di Filipina setara dengan 80,7 persen dari total
populasi. Perbedaan antara pengguna internet dan pengguna media sosial
menyiratkan bahwa banyak orang Filipina memiliki banyak akun media sosial. Bagi
peneliti digital, ini mungkin berarti bahwa beberapa pengguna terlibat dalam
perilaku seperti troll atau beberapa akun media sosial palsu dan/atau bukan
manusia atau bot (Aries A Arugay, ISEAS
Perspective 2022/33, 7 April 2022).
Kata Japhet Quitson (www.csis.org,
22 November 2021), sosial media adalah kekuatan fundamendal dalam masyarakat
Filipina. Menggunakan sosial media adalah cara yang nyaman untuk mengetahui
informasi dan mudah diakses, terutama karena konektivitas internet seringkali
lambat dan tidak dapat diandalkan. Aksesibilitas media sosial menjadikannya
platform utama untuk mempengaruhi opini publik. Akibatnya, aktor politik rela
melakukan apa saja untuk menarik perhatian publik.
Lebih dari 90 persen orang Filipina yang memiliki akses ke internet menggunakan
media sosial. Facebook dan YouTube mendominasi negara:
pada tahun 2021, sekitar 81 persen penduduk Filipina menggunakan Facebook; 85 persen orang yang
memiliki akses internet menonton YouTube.
Rata-rata pengguna internet Filipina menghabiskan hampir empat jam di media
sosial setiap hari. Bagi sebagian orang Filipina, Facebook adalah satu-satunya
sumber berita mereka. Penduduk di kawasan miskin di sekitar Manila, yang
mungkin tidak memiliki listrik, TV atau radio, mereka tetap memiliki telepon
genggam.
Sebenarnya Bongbong Marcos Jr. kata Aries A. Arugay, mengulang yang dilakukan
Rodrigo Dutarte pada Pemilu 2016. Pilpres 2016 secara luas dianggap sebagai
“pemilihan media sosial” arus utama pertama di Filipina. Duterte memenangi
pilpres atas bantuan “pasukan” media sosial. Pakar politik Filipina mengaitkan
kemenangan itu dengan penggunaan media sosial yang cerdas oleh kampanye Duterte
hingga menyebarkan berita palsu. Namun, ia mengatakan bahwa kemenangan Duterte
semata-mata karena strategi media sosialnya yang cerdas, melebih-lebihkan
kekuatan manipulasi virtual selama waktu itu dan mengabaikan hubungan simbiosis
antara semangat online dan mobilisasi politik akar rumput (Rappler, January 28, 2021).
Filipina juga merupakan negara teratas di mana responden mengakui bahwa mereka
mengikuti influencer media
sosial. Rata-rata di tingkat global hanya 22,1 persen menggunakan influencer sebagai sumber
informasi utama, sementara di Filipina 51,7 persen responden, bahkan tentang
politik dan pemilu.
Kata
Camille Elemia (Rappler, 27
Februari 2021) ketergantungan pada influencer ini
mengungkapkan bahwa orang Filipina lebih menghargai kepribadian dan individu
daripada institusi yang sah seperti media, akademisi, dan bahkan organisasi
masyarakat sipil sebagai perantara media sosial mereka.
Tanpa standar verifikasi pemeriksaan yang tepat dan tanpa reputasi yang
kredibel, akses yang diberikan kepada influencer untuk menghasilkan konten
telah semakin berkontribusi pada penyebaran disinformasi. Inilah yang secara
“cerdik” tahun 2016 digunakan Dutarte, dan kini oleh Bongbong Marcos Jr. Karena
itu, Bongbong Marcos Jr. menolak debat di TV dan juga tidak mau diwanwancara
media terutama arus utama yang menentangnya saat menjelang pemilu.
foto: istimewa
Faktor
Lain
Faktor lain yang memberikan sumbangkan kemenangan telak Bongbong Marcos Jr.
adalah bersatunya dua dinasti—Marcos dan Dutarte—yang memiliki pengaruh kuat
dalam politik. Dinasti Marcos menguasai wilayah Ilocos, Filipina Utara—Propinsi
Ilocos Norte, Ilocos Sur, Pangasinan, dan La Union serta Cagayan Valley
(Batanes, Cagayan, Isabela, Nueva Vizcaya, dan Quirino). Bongbong juga mendapat
dukungan dari wilayah tengah, Leyte. Sementara Dinasti Dutarte (yang
menempatkan Sara Dutarte sebagai wakil presiden adalah walikota Davao City,
2010-2013 dan 2016-2022) menguasai wilayah Filipina Selatan, Mindano.
Bongbong juga pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur dan Gubernur Ilocos Norte
(dua kali), Filipina Utara dan anggota Kongres mewakili Ilocos Norte, propinsi
pendukung utama Dinasti Marcos. Dengan kata lain, sentimen daerah, kewilayahan
memberikan sumbangan besar bagi kemenangan keduanya.
Slogan yang diusung Bongbong Marcos Jr juga menarik rakyat yang sejak Revolusi
1986, belum benar-benar menikmati janji revolusi yakni terciptanya kehidupan
yang lebih baik, tiadanya korupsi, kemiskinan, tegaknya hukum dan demokrasi,
terciptanya kesejahteraan, tidak ada lagi dominasi dinasti-dinasti, pemerataan
(Philippine Daily Inquire,
27 Februari 2020). Maka Bongbong Marcos Jr mengusung slogan “Bersama Kita akan
Bangkit Kembali” sambil mengingatkan bahwa zaman ayahnya, Ferdinand Marcos Sr,
Filipina menikmati golden era (meskipun ada yang mengartikan golden era itu
hanya bagi keluarga Marcos dan bukannya bagi rakyat Filipina). Mirip seperti di
sini, muncul slogan “Enak Jamanku To.”
Maka rakyat, tidak lagi memersoalan undang-undang darurat, pelanggaran HAM,
korupsi, kroniisme, dan sebagainya yang terjadi di masa lalu (atau juga di
pelanggaran HAM di zaman Dutarte), melainkan lebih fokus pada bagaimana
mendapatkan pekerjaan terutama di masa pasca pandemi Covid.
Kaum muda
mencari solusi inovatif keluar dari jerat akibat pandemi. Dan, Bongbong Marcos
Jr. meski dalam dirinya melekat noda hitam ayahnya, tetapi menawarkan
pemerintahan baru dengan tata kelola yang baik, keberlanjutan dan inklusi,
pendidikan, perawatan kesehatan, dan layanan sosial. Meski semua itu masih
harus dibuktikan.
Jadi, benar yang dikatakan mantan Presiden Fidel Ramos (manilastandard.net, 25
Februari 2021) saat ulang tahun ke-35 Revolusi Kekuatan Rakyat, “Nasib bangsa
kita masih belum pasti, tetapi sejarahnya adalah bukti bahwa kita selalu
berhasil mencapai aspirasi bersama ketika kita bekerja bersama.” Maka, Bongbong
Marcos Jr pun mengusung slogan “Bersama Kita akan Bangkit Kembali.” Dan, rakyat
Filipina lupa tragedi kemanusiaan di Zaman Marcos Sr..*Artikel ini sudah diterbitkan harian Kompas Jumat 13 Mei 2022 (Sup),
Posting Komentar