KISAH PEMBURU
Photo Unsplash.com/Maxim PotkinSebutannya saja pemburu, maka
kerjanya memburu. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menuliskan,
salah satu arti dari kata “memburu” adalah “berusaha keras supaya mendapat
(uang, pangkat, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya).
Arti kata “memburu” itu sejalan
dengan apa yang dihasrati manusia, yakni kata Herry-Priyono (2022) mengutip
filsuf pokitik Thomas Hobbes (1588-1679) keberhasilan atau felicity. Yang
dimaksud keberhasilan adalah meraih obyek hasrat secara terus menerus. Untuk
mencapai itu, manusia butuh sarana yang disebut kekuasaan (power): harta,
reputasi, jaringan teman, jaringan pemilik modal, jaringan tokoh termasuk tokoh
agama, jaringan ormas, dan sebagainya termasuk jaringan buzzer.
Kata “pemburu” bila disandingkan
dengan kata lain, akan memiliki arti lain. Misalnya, pemburu rente (secara
sederhana yang dimaksud pemburu rente adalah pengusaha yang memanfaatkan
penguasa untuk mendapat keuntungan lebih dari selisih yang diperoleh antara
jumlah yang dibayar dengan kebaikan hati penguasa atau pejabat pemerintah).
Ada lagi pemburu harta karun,
pemburu kuntilanak, pemburu preman, pemburu kepala (headhunter), pemburu
hadiah, pemburu tepuk tangan, pemburu risiko, pemburu hikmah, pemburu
mimpi, pemburu cinta, pemburu kebenaran atau filsuf ( yang diburu adalah
kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan),
dan masih banyak lagi, bisa ditambah sendiri.
Yang belakangan ini populer
adalah pemburu kuasa. Bila kembali ke KBBI, “pemburu kuasa” ini
dapat diartikan sebagai “pengejar dan pemuja kekuasaan.” Untuk dapat menangkap
yang dikejar itu (kekuasaan) maka segala cara dilakukan: mulai dari yang lembut
sampai yang kasar, dari yang intelek hingga yang tampak kurang terpelajar, dari
yang santun sampai yang tak tahu malu, dari yang rasional hingga yang
irrasional. Pendek kata, dengan menghalalkan segala cara dan jalan, yang oleh
orang-orang pintar disebut Machiavellian.
Maka tidak mengherankan
–tetapi, aja kagetan, aja
gumunan–kalau para pemburu kekuasaan itu sekarang ini tampak
alim, saleh, agamis, santun, sopan, peduli, penuh belarasa, merendah, dan tebar
pesona; bahkan menyebut-nyebut dirinya keturunan tokoh besar dan kondang di
masa lalu.
Yah, semuanya boleh-boleh saja.
Wong namanya usaha. Yang mereka lakukan, tak hanya menebar pesona lewat baliho
besar-besar yang dipasang di mana-mana, di berbagai kota, tapi ada juga yang
menumpang program pemerintah, misalnya dalam hal penanganan Covid-19 atau
program minyak goreng. Ada pula yang menumpang isu yang tengah menjadi
pergunjingan atau tengah menjadi kontroversi di masyarakat atau memberikan
komentar sekadar untuk cari simpati dari kelompok sasaran buruannya. Meskipun,
komentar tersebut bagi yang waras, yang punya nalar, yang punya hati dirasakan
tidak mutu. Ora mutu.
Pendek kata, semua cara dan jalan
dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas. Karena itu, mereka berusaha tampil
sehebat mungkin, sememesona mungkin, semenarik mungkin, sememikat mungkin agar
diyakini sebagai tokoh yang ditunggu-tunggu, seperti “Ratu Adil.”
Tetapi, kalau kealiman,
kesalehan, kerendahan hati, kepedulian, kesantunan, kesopanan, dan sikap
belarasa yang kental itu tidak berasal dari hati alias hanya sekadar
gincu, maka akan segera pudar. Tidak awet. Apalagi bila “pesta” sudah
selesai dan gagal mencapai tujuannya. Karena semuanya hanya lamis, manis di
bibir saja. Maka ada peribahasa “lidah tak bertulang.”
Kedua
Itulah politik gincu. Bila politik itu semata-mata hanya diartikan– seperti
disampaikan Maurizio Viroli— sebagai “keterampilan meraih serta memertahankan
kekuasaan dan keunggulan kekuatan”, akan terjadi politik gincu itu; akan terjadi
semacam itu.
Padahal, politik memiliki arti
yang luhur, mengemban arti baik yakni perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan
bersama, bonum commune. Untuk mewujudkan hal itu kata Nicolai
Rubinstein (1911-2002) sejarawan Italia Renaisans kelahiran Jerman, perlu
ada regimen politicum,
rezim politik, yakni pemerintahan menurut hukum yang dibuat sendiri oleh warga.
Ini berarti hukum untuk kepentingan seluruh warga tanpa kecuali, tidak
diskriminatif, tidak sektarian, dan menjamin terciptanya kedamaian dan
keadilan.
Tetapi, arti yang ini terlupakan
atau sengaja dilupakan. Sebab, dengan digenggamnya kekuasaan di tangan, lalu
yang diperjuangkan adalah kesejahteraan diri, keluarganya, golongannya, dan
juga kelompoknya. Maka, nggak usah heran dan risau kalau politik pun lalu
dianggap sebagai kegiatan penuh siasat culas dan kotor untuk meraih kekuasaan
dan memertahankan kekuasaan.
Karena yang diperjuangkan adalah
meraih dan memertahankan kekuasaan, maka segala daya upaya dan cara dilakukan;
termasuk jualan agama, politisasi agama, memainkan politik identitas.
Semua itu dilakukan tak peduli
bahwa segala daya, upaya, dan cara itu merusak toleransi sosial, agama, dan
budaya; bahkan membahayakan keutuhan bangsa dan negara. Kata Buya Ahmad Syafii
Maarif (1996) sebuah bangsa dapat mengalami kehancuran bila toleransi sosial,
agama, dan budaya tidak mantap.
Cara-cara tersebut, menunjuk pada
pokok dasar politik yang disampaikan pemikir Perancis Bertrand de
Jouvenel. Yakni, politik berupa “upaya sistematik untuk menggerakkan
orang-orang dalam rangka mengejar suatu rancangan kondisi yang dikehendaki si
penggerak.”
Sekarang ini, menggerakkan
orang-orang tertentu atau kelompok tertentu untuk mewujudkan apa yang
dikehendaki penggerak, banyak dilakukan. Antara lain misalnya dengan
menggunakan agama; menggunakan politik identias yang memecah belah
bangsa. Si penggerak melihat peluang itu dan lalu memanfaatkan bahkan
mengeksploitasi sekuat tenaga, sebesar-besarnya, semaksimal mungkin tak peduli
akibatnya, yang penting tujuannya tercapai.
Ini sontoloyo!
Tetapi, ya itu tadi, kekuasaan,
memang membius sehingga membuat mata hati tertutup oleh tembok besar nafsu
keserakahan, syahwat kekuasaan. Tentu itu bagi mereka yang haus, lapar,
mabuk kekuasaan dan tidak bisa mengukur diri, merasa diri populer, merasa diri
bisa kerja baik untuk negara dan bangsa.
Ada juga kelompok, karena
didorong oleh syahwat kekuasaan yang menderu-deru, lalu menyodorkan,
“menjagokan” orang yang sekadar popular namun tidak memiliki rekam jejak dan
kualitas yang dibutuhkan bangsa dan negara ini. Mereka hanya menekankan aspek
popularitas bukan kualitas. Hal itu tentu akan berpengaruh pada nasib negara
dan bangsa di masa depan. Sebab, popularitas saja tidak akan menjadi modal yang
cukup untuk membawa dan mengubah bangsa dan negara ini ke situasi dan kondisi
yang lebih baik, ke zaman kemajuan, bila tanpa kualitas diri, bila miskin
politik (dalam arti yang sesungguhnya) yang dibutuhkan bangsa dan negara ini.
Bagi mereka itu, istilah politik
seakan-akan hanya berarti kekuasaan, hanya ada dalam kamus kekuasaan dan tidak
berarti kesejahteraan bagi masyarakat banyak. Karena itu mereka menggenjot
aspek popularitas untuk menaikkan citra. Tetapi, sebenarnya bila hanya
mengomunikasikan politik (di sini politik pencitraan) namun tidak disertai aksi
politik yang konkret, nyata (sekali lagi, politik dalam arti yang adiluhung)
maka sama saja menipu orang lain, mangsa “buruan” mereka. Karena yang
mereka lakukan hanyalah menarik simpati untuk mendapat dukungan. Itu saja!
Ketiga
“Musim berburu” belum tiba, memang. Tetapi persiapan untuk
perburuan sudah dilakukan. Bahkan sudah ada yang memulai perburuan sekalipun
secara tidak resmi, sekalipun secara malu-malu kucing yang akhirnya memang
memalukan bagi yang masih punya rasa malu, bagi yang kulitnya tipis.
Karena itu diingatkan oleh Jalāl
ad-Dīn Mohammad Rūmī (1207-1273), seorang sufi Persia, “Jangan pergi ke arah
yang gelap, karena matahari masih ada.” Sekarang ini, semua terang-benderang.
Dan, rakyat pun sudah pintar, mana pemburu kuasa dan mana pemburu hikmah,
mana kebenaran…..mana penumpang kekuasaan yang akan menggunakan kekuasaan untuk
kepentingan dirinya sendiri serta kelompoknya dan mana yang akan menggunakan
kekuasaan untuk kesejahteraan bersama. (Sup)
Posting Komentar