BUYA
Buya Ahmad Syafii Maarif
(foto:Istimewa)
Suatu
hari di Bulan Desember, 2021, saya kirim WA pada Buya Syafii Maarif, ingin
mewawancarainya untuk program Trias
Kredensial.
“Selamat
siang, Buya…. Saya sedang di Yogya….apakah setelah tanggal 25 Desember, saya
boleh sowan Buya
untuk wawancara?_Matur nuwun..”_
Tak
lama kemudian, Buya menjawab kiriman WA saya:
“Nuwun_, tgl 28 Des.
sktr jam 11.00 sy insya
Allah akan di kantor Suara Muhammadiyah Jl. Ahmad Dahlan 107.
Kt bisa bertemu di sana. Pak Trias ingatkan trs. Maarif.”
“Matur nuwun sanget, Buya…baik, Buya, saya
ingatkan….selamat malam. Salam hormat.”
Sehari sebelum pertemuan, 27 Desember 2021, saya menerima pesan dari Buya,
lewat WA:
“Punten Pak Trias, ternyata sy
ke alamat di atas bsk baru jam 15.30. Jika Rabu, 29 Des. insya Allah, saya akan ada
di alamat ini: Perum Pesona Regency E3, Trihanggo, Sleman. Nuwun. Sekitar jam
11.00. Maarif.”
“Inggih_ , Buya…baik, saya
akan sowan nanti
tanggal 29 Desember….terima kasih banyak, Buya…”
Rabu
pagi, 29 Desember 2021, saya kirim WA ke Buya, “Selamat pagi, Buya… Nanti jam
11.00, saya jadi sowan…._matur
nuwun.”
Beberapa
menit kemudian, Guru Bangsa itu membalas WA saya: “Sure.”_
“Matur
nuwun, Buya.”
Saya
pun bersama istri, dan kameramen yang akan merekam wawancara saya, meluncur ke
rumah Buya, tak lama kemudian.
***
Beruntung
saya mengenal Buya Ahmad Syafii Maarif (1935-2022). Dan, saya senang dan bangga
Buya mengenal saya. Begitu melihat, Buya langsung bisa menyebut nama saya
secara lengkap. Sungguh menyenangkan dan bangga.
Memang,
bukan hanya saya saja yang mengenalnya. Tetapi sangat banyak orang di negeri
ini yang mengenalnya. Buya memang pantas dikenal. Bahkan, kenal lebih dekat dan
sangat-sangat dekat dibanding saya. Saya hanya masuk dalam katagori, “sudah
senang sekali kalau kiriman WA saya, dijawab.”
Buya
dengan penuh kesengajaan dan sesadar-sadarnya, saya sebut sebagai
“tokoh yang sangat terpuji.” Mungkin ada yang tidak sepaham, tidak
apa-apa. Berbeda pendapat, soal yang biasa di dalam alam demokrasi, meskipun
menurut para cerdik cendikia, demokrasi di negeri ini mulai merosot.
Sangat
wajar, kalau banyak orang dari pelbagai kalangan—politisi, usahawan, ulama,
rakyat biasa (tua maupun muda; lelaki maupun perempuan; orang kota maupun orang
desa), kaum terdidik maupun yang kurang terdidik, dan masih banyak
lagi—mengenalnya, meskipun banyak di antara mereka belum pernah bertemu. Banyak
kalangan yang pingin dan sudah sowan kepada
Buya, terutama kalangan politisi. Suatu ketika, Buya cerita kepada saya
tentang para politisi yang sowan ke
rumahnya. “Saya bukan pemimpin politik, Trias,” katanya.
Karena
itu, sangatlah bijaksana dan pantas kalau dulu banyak yang sowan Buya, bila ingin
menjadi politisi yang berhati-nurani, yang berakal budi. Tentu Buya sangat
berbeda, berbeda jauh sekali, bahkan sangat tidak dapat disamakan dengan
“tokoh” (sesepuh) yang tidak
perlu dan tidak pantas disowani, yang
menurut Presiden Jokowi sering membuat keributan. “Jangan menggadaikan
kewibawaan dengan sowan kepada
pelanggar hukum,” kata Jokowi kepada para polisi, pada suatu ketika.
Bagi
saya, Buya Syafii Maarif adalah mata-air keteladanan dalam banyak hal, baik
kejujuran, kesederhanaan, sikap hidup, persaudaraan, tindakan nyata dan
berbagai hal kebaikan lainnya. Kata pepatah veritatis simplex oratio est,
bahasa kebenaran itu sederhana. Begitulah Buya. Apa yang selalu dikatakan,
tentang banyak hal, mencerminkan keadaan sesungguhnya yang ada di masyarakat.
Buya
selalu mengatakan apa adanya sekalipun terhadap orang yang didukungnya, tanpa
“topeng” kepalsuan dengan aksi sekadar sensasi, seperti yang banyak dilakukan
oleh mereka yang menokohkan diri, yang suka menebarkan pesona demi gensi dan
demi kuasa. Itulah contoh keutamaan Buya. Kata pepatah, virtus magis percepta per habitum quam
doctrinam, keutamaan diperoleh lebih karena kebiasaan daripada
ajaran… Keutamaan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Buya.
Di
zaman kini, tidak mudah mencari tokoh seperti Buya. Tokoh masyarakat yang
bersifat informal adalah orang-orang yang diakui oleh masyarakat karena dipandang
pantas menjadi pemimpin yang disegani dan berperan besar dalam memimpin dan
mengayomi masyarakat, sagala ucapan dan tindakannya pantas didengarkan serta
ditiru. Dan, Buya adalah salah satunya dari sedikit tokoh yang ada di tengah
masyarakat kita.
Ada
ujar-ujaran dalam bahasa Jawa yang berbunyi, sejatiné pemimpin iku kang bisa ngayomi lan ngayemi (sesungguhnya
pemimpin itu adalah orang yang bisa melindungi dan menenteramkan). Selama ini,
Buya melakoni peran
itu.
****
Suatu
ketika, Buya mengatakan “Dalam usia yang sudah sangat larut ini, agenda utamaku
adalah turut berbuat sesuatu betapa pun kecilnya agar Indonesia sebagai bangsa
dan negara tetap utuh.”
Tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa yang dikatakan Buya itu adalah sesuatu yang
sangat penting, di tengah usaha sekelompok orang yang ingin mengoyak rajutan
tenun persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Buya tetap berjuang dengan
segala cara dan jalan untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negara
ini.
Kata
Buya, “Indonesia merupakan bangsa besar yang dianugerahi dengan beragam
perbedaan seperti agama, suku, adat, bahkan bahasa. Oleh karena itu kita harus
menanamkan sikap toleransi dalam diri dengan terus memelihara persatuan,
persaudaraan dan kerukunan antar sesama karena Bhinneka Tunggal Ika merupakan
nilai bangsa yang harus terus dijaga,” _(Antara_, Senin 31 Mei
2021)
Buya
Ahmad Syafii Maarif, Guru Bangsa, Negarawan, Sang Panutan itu kini telah pulang
ke haribaan Sang Khalik, Sang Maha Cinta. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”
Wasiat Buya, agar persatuan dan kesatuan bangsa dan begara terus dijaga dan
dipertahankan, menjadi tugas semua anak Bangsa untuk melaksanakannya.
Terima
kasih banyak Buya, atas segala contoh kehidupan yang baik saling
hormat-menghormati sesama anak bangsa, toleran, terus berusaha menjaga
persatuan dan kesatuan, dan juga piwulang,
nasihat-nasihatnya.
Selamat
jalan Bapak Bangsa ..menuju perdamaian abadi….(Sup)
Posting Komentar