BULAN DI ATAS OMAH PETROEK.
Oleh :Trias Kuncahyono
Omah
Petroek, malam itu meriah. Tidak hanya meriah, tetapi benar-benar begitu hidup.
Bulan bulat sehari sebelum Waisak, yang menggantung di langit menyaksikan
kegembiraan itu.
Bulan
itu tersenyum memandangi penduduk Pakem, Wonorejo, Hargobinangun berkumpul di
Omah Petroek berbaur dengan para tamu terhormat. Ada Sukardi Rinakit yang
sehari-hari di istana presiden, ada pejabat desa, biarawan, biarawati,
seniman, ilmuwan, wartawan, aktivis lingkungan, dan mahasiswa.
Bahkan,
ada pula mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang masih
seperti dulu ramah, banyak tawa, dan dengan suka hati menerima permintaan warga
desa untuk berfoto bersama.
Ada
wajah kelegaan pada Bulan melihat tak ada sekat-sekat antara rakyat
biasa dan tamu-tamu terpandang; yang wangi dan yang kurang wangi; yang
bersepatu dan yang bersandal jepit atau cekeran; yang sekolah tinggi maupun yang hanya sempat
merasakan bangku sekolah dasar; yang kerja kantoran dan yang saban hari
bergelut dengan lumpur di sawah atau di kebon; yang tahu seni bahkan menggeluti
dan yang mengartikan tontonan itu semata-mata sebagai hiburan setelah
pandemi yang mencengkeram dan menenggelamkan semua kegiatan.
Sinar
bulan purnama semakin lama semakin terang memandikan tubuh mereka yang duduk
dan berdiri menikmati tontonan malam itu, sambil menikmati aneka makanan yang
disediakan secara gratis. Semuanya dalam dekapan kebersamaan. Malam itu tepat
ketika bulan bersinar terang bagai ratu di atas singga sana.
Semua
yang ada di Omah Petroek ikut “Merayakan Persahabatan” di saat Romo Sindhunata,
rohaniawan, budayawan, sastrawan, analis sepak bola, penulis novel Anak Bajang Menggiring Angin,
Anak Bajang Mengayun Bulan, dan banyak buku lainnya, berulang tahun
ke-70.
“Seluruh
hidup saya tergantung pada kebaikan teman-teman, sahabat dan sesama. Tujuh
puluh tahun adalah saat yang indah untuk mengenang dan merayakannya,” kata Romo
Sindhu.
*
Persahabatan memang layak dan pantas dirayakan. Apalagi, di zaman sekarang
ini–ketika perkawanan dan juga yang katanya persahabatan–nyaris hampir semuanya
dibangun atas dasar kepentingan; atas dasar hitung-hitungan untung rugi; atas
dasar kesamaan warna “baju”, yang berbeda warna dianggap dan dipandang orang
luar; atas dasar “kami” dan “mereka.” Karena itu, persahabatan, apalagi
persahabatan sejati yang masih ada, pantas dirayakan.
Sebab,
kata Emmanuel Levinas (1906-1995) filsuf Perancis tujuan persahabatan adalah
transformasi diri. Membangun persahabatan dengan yang lain selalu berarti
membangun relasi etis.
Transformasi
diri itu membuat orang yang egoistik menjadi orang yang solider, dari
orang yang totaliter menjadi orang yang lebih bersahabat. Dengan kata lain,
bisa dikatakan, tujuan persahabatan adalah tanggung jawab etis terhadap
kehadiran yang lain. Mau menerima yang lain, tanpa pandang bulu dengan tulus
ikhlas, dengan tangan terbuka lebar-lebar. Bukan sebaliknya, menafikan yang
lain, yang berbeda dianggap musuh.
Itulah
sebabnya, persahabatan merupakan hal yang tidak mudah untuk diwujudkan. Maka
kata pepatah, mencari seorang sahabat bagaikan mencari permata di sebuah
lumbung jerami yang besar.
Yang
terjadi, seringkali persahabatan yang dibangun tidak dilandasi oleh
ketulusan tetapi sarat dengan kepentingan diri sendiri. Sebenarnya itu
bukanlah persahabatan, apalagi persahabatan sejati. Melainkan perkawanan yang
didasarkan atas kepentingan; semacam persahabatan politik.
Dalam
politik, seperti kata Lord Palmerston, perdana menteri Inggris pada abad ke-19,
tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan. Itulah watak politik.
Itulah tabiat politik. Maka perkawanan atau kalau disebut persahabatan pun,
akan seperti itu.
Politik
memang penuh dengan unsur kepentingan di dalamnya. Dalam politik, mana yang
menguntungkan mana yang merugikan, akan selalu dipertimbangkan. Mengapa
partai-partai politik berkoalisi seperti sekarang ini untuk menghadapi Pilpres
2024? Karena mereka memiliki kepentingan yang sama.
Mengapa
para ketua parpol bersafari untuk bertemu? Untuk mencocokkan kepentingan
mereka. Sekarang, hari-hari ini, banyak politisi yang bersuara (lantang lagi)
mengomentari sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikomentari, sekadar untuk
mencocokkan, menyenadakan suara mereka dengan suara kelompok tertentu yang
menjadi sasarannya. Tidak peduli suaranya sumbang atau tidak, bermutu atau
tidak, terdengar bernalar atau tidak. Kepentingannya apa? Cari dukungan,
cari simpati, cari massa, kan ini jelang pemilu.
Apakah
itu akan abadi? Ya, tidak! Mereka kan politisi, jadi ya berpolitik. Dan, dalam
berpolitik hukum besi politiklah yang berlaku seperti kata Palmerston: tidak
ada yang abadi, kecuali kepentingan. Kepentingan adalah hal yang selalu dan
akan selalu ada baik dalam kawan maupun lawan.
Maka,
bukan hanya terkadang tetapi kerap terjadi lawan juga bisa menjadi kawan ketika
ternyata terjadi kecocokan kepentingan atau sebaliknya kawan menjadi lawan,
karena beda kepentingan. Praktik semacam itu terjadi nyata di panggung politik
di mana saja, juga di negeri ini. Apakah kita pernah membayangkan bahwa yang
bertarung sengit pada Pilpres 2019, kemudian bersatu?
Kepentingan.
Itu kata kuncinya. Itulah yang abadi. Kepentingan adalah sesuatu yang sangat
melekat pada kawan dan lawan. Dengan kata lain, kepentingan tidak
mengenal yang namanya kawan atau lawan karena kepentingan selalu ada dimanapun
berada dan di waktu kapanpun.
Persahabatan (Ilustrasi: Istimewa)
*
Maka, benar yang dikatakan Romo Sindhu bahwa persahabatan–apalagi sekarang
ini–harus dirayakan. Karena persahabatan adalah sesuatu yang langka. Terutama
persahabatan sejati yang tidak didasarkan pada kepentingan diri sesaat. Sebab,
persahabatan bukan sekadar mengenal seseorang, di atas segalanya. Tetapi,
persahabatan adalah persatuan kehendak; kehendak untuk tujuan baik.
Persahabatan
sejati tidak didasarkan pada syarat- syarat yang berubah-ubah; seperti
persahabatan politik, yang bersyarat-syarat, yang berdasarkan kepentingan
(entah itu kepentingan golongan, kepentingan kelompok, kepentingan suku, agama,
maupun etnis, kepentingan identitas, dan sebagainya).
Maka,
kita sekarang hanya bisa mengenang sekaligus cemburu pada persahabatan sejati
para Bapak Bangsa yang mendirikan republik ini. Kata Buya Ahmad Syafii Maarif
(2009), “Betapa seorang Natsir atau Prawoto Mangkusasmito begitu dekat
dengan Ignatius Joseph Kasimo, Herman Johannes, Albert Mangaratus Tambunan,
atau Johannes Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya.
Atau antara Burhanuddin Harahap dengan Ida Anak Agung Gde Agung yang Hindu.
Kasimo bahkan bersama tokoh Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) mencoba
melawan sistem politik otoritarian Soekarno pada era demokrasi terpimpin
(1959-1966).”
Baik
Natsir, Kasimo, Leimena adalah tokoh-tokoh penting dari kelompok agamanya
masing-masing. Mohammad Natsir yang berasal dari Minangkabau di tahun 1950-an
adalah petinggi Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Masyumi adalah
partai Islam terbesar di zaman Soekarno
Semua
itu adalah sejarah. Semestinya historia magistra vitae, sejarah adalah guru
kehidupan. Tetapi, pernahkan kita, bangsa ini berguru pada sejarah atau malahan
menganggap sejarah hanyalah kisah masa lalu yang harus dilupakan?
Di
Omah Petroek, persahabatan seperti yang dulu dihidup-hidupi para Bapak Bangsa,
seperti hadir kembali, ketika semua yang hadir tanpa kecuali, siapa pun mereka,
apa pun latar belakangnya, warna apa pun identitasnya bergembira bersama. Di
Omah Petroek ketika Bulan bulat menjelang Waisak membiarkan sinarnya
menyelimuti Desa Wonorejo, persahabatan itu dirayakan. Semua ikut merayakan
persahabatan, tidak ada pembedaan warna “baju” yang mereka kenakan.
Perayaan
itu terasa sebagai sebuah kemewahan di tengah retak-retaknya dinding
persahabatan antar-anak bangsa di negeri, di tengah mulai putusnya di
sana-sini benang tenun kebangsaan, dan di tengah mulai mengentalnya semangat
politik identitas yang secara sengaja dimainkan untuk kepentingan kekuasaan.
Maka,
benar kata orang, “teman tertawa memang banyak, tetapi teman menangis sangat
sedikit,” di zaman sekarang ini. Karena ada kecenderungan orang dianggap
sebagai sahabat hanya ketika memiliki kepentingan yang sama dengan dirinya
sendiri, bukan kepentingan bersama. Apalagi kepentingan Bangsa. Orang dianggap
sahabat bila “warna baju”-nya sama.
….Selamat
Merayakan Persahabatan, Romo Sindhu….(Sup)
Posting Komentar