BAPAK KARDINAL DAN IMAM BESAR
Ignatius Kardinal Suharyo dan Imam Besar KH Nasaruddin Umar (Foto: Istimewa)Mas
Ronny Tranda, kawan saya di WA Grup memosting foto–juga diposting banyak
sahabat dan kawan di kelompok WA lain– kunjungan Ignatius Kardinal Suharyo ke
rumah Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.
Kunjungan
silaturahim di Hari Raya Idul Fitri itu–yang bagi umat Kristiani masih dalam
suasana Hari Raya Paskah–dilakukan Kardinal pada Lebaran Kedua, 3 Mei lalu.
Kunjungan
Kardinal itu disambut penuh keramah-tamahan, penuh kehangatan, penuh
persaudaraan oleh KH Nasaruddin Umar beserta istri, Ibu Helmi Halimatul Udhmah,
kedua putra, seorang putri, dan keluarga serta kerabat. Kardinal didampingi
Pastor Paroki Gereja Katedral Romo Albertus Hani Rudi Hartoko SJ dan Susyana
Suwadie humas Keuskupan Agung Jakarta.
Saya
lantas ingat, pertemuan antara pemimpin umat Katolik sedunia Paus Fransiskus
dan Ulama Besar Al-Azhar Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyid, di Abu Dhabi, Uni
Emirat Arab, tahun 2019. Sheikh al-Tayyeb juga Ketua Dewan Para Tetua Muslim (the Muslim Council of Elders).
Dewan ini didirikan pada tahun 2014 sebagai organisasi global dan independen
yang mendorong perdamaian dan membahas isu-isu konflik di komunitas
Muslim.
Mereka
bertemu, bersalaman, dan berpelukan penuh persaudaraan, penuh kehangatan, penuh
kejujuran dengan hati yang bening. Bukan pelukan politik. Bukan pelukan agama.
Tetapi, pelukan persaudaraan.
Pertemuan
Abu Dhabi ini merupakan pertemuan ketiga antara kedua pemimpin itu sejak April
2017, di Cairo, Mesir, kemudian 16 Oktober 2018 di Vatikan. Dari pertemuan Abu
Dhabi itu, lahirlah “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan
Hidup Bersama” yang ditandatangani kedua tokoh besar itu.
Dua
tahun kemudian, hari Sabtu, 6 Maret 2021, ada pertemuan istimewa lagi. Yakni
pertemuan antara Paus Fransiskus dan Ayatollah Agung Sayyid Ali
al-Husaini Sistani, di Najaf, Irak.
Najaf
adalah salah satu kota suci bagi kaum Syiah yang terletak sekitar 160 km
selatan Baghdad ibu kota Irak. Di kota ini,
dimakamkan Imam ‘Alī ibn Abī Tālib yang menjadi saksi pertemuan
bersejarah dan penuh makna itu. Kebetulan tahun 2003, saya mengunjungi Najaf.
Semua
pertemuan itu–yang terjadi di tengah menguatnya sentimen keagamaan, gelagat
pudarnya persaudaraan antar-umat beriman, bahkan di negeri ini hawa kebencian
sangat terasa–sungguh memberikan angin dan udara sejuk; memberikan semangat
baru untuk saling menghormati, untuk saling bergandengan tangan, mengeratkan
hati dan pikiran untuk membangun perdamaian dan persaudaraan sejati.
Semua
peristiwa persaudaraan itu mengingatkan kembali akan cerita pertemuan
Fransiskus Asisi dan Sultan Al-Kamil di tengah kecamuknya Perang Salib V
(1217-1221). Pertemuan itu tidak hanya monumental tetapi juga historis dalam
konteks dialog antar-iman.
Itulah
pertemuan dua tokoh muda—Fransiskus berusia 38 tahun dan Sulan al-Kamil berusia
39 tahun–yang sama-sama memiliki idealisme, impian tinggi tentang masa depan,
tentang dunia dan penyelamatan dunia. Hanya satu misi yang dibawa Fransiskus
saat menemui Al-Kamil yakni mengupayakan perdamaian, dan mengakhiri perang yang
telah menelan demikian banyak korban jiwa dan menyuburkan rasa saling membenci
dan dendam antara umat Kristiani dan Islam.
Kedatangan
Fransiskus Asisi disambut dengan penuh keramah-tamahan dan persaudaraan oleh
Sultan al-Kamil penguasa Dinasti Ayyubiah, di Mesir meski di sekitar mereka
bumi, langit, dan udara dipenuhi rasa kebencian dan permusuhan.
Tetapi,
pertemuan itu menjadi antidot, sebuah pengingat bahwa menanggapi kekerasan
dengan kekerasan pula, tidak akan ada hasilnya, dan bahwa kebaikan dan saling hormat
dapat benar-benar mengubah hati.
Kedua
Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyid (Foto: Istimewa)
Zaman
sekarang ini—terutama di negeri kita–memang membutuhkan orang-orang besar bukan
orang yang besar nafsu kekuasaannya. Bukan orang-orang berpikiran picik dan
berhati kerdil serta keruh.
Tetapi,
yang dibutuhkan adalah orang-orang yang berani menyingkirkan nafsu pribadinya,
bukan yang menomorsatukan egonya, bukan pula yang mengutamakan kepentingan
dirinya yang tidak jarang–meminjam istilahnya Niccolò di Bernardo dei
Machiavelli (1469-1527)— menghalalkan segala cara. Bahkan menggunakan agama
untuk keuntungan, termasuk untuk merebut kekuasaan.
Yang
dibutuhkan adalah orang-orang yang berhati bening dan berwawasan luas untuk
berani menerobos dan merobohkan benteng kesaling-ketidakpercayaan, saling
curiga, bahkan mungkin permusuhan.
Maka,
ketika pertemuan pribadi terjadi–Fransiskus Asisi dan Sultan al-Kamil, Paus
Fransiskus dan Sheikh al-Tayyid, Paus Fransiskus dan Ayatollah
Agung Ali Sistani, antara Kardinal Suharyo dan KH Nasaruddin
Umar, serta para pemimpin lainnya yang berhati jernih, dan luas seluas samudra
–perdamaian mendapat kesempatan untuk lahir.
Mereka
itu adalah tokoh-tokoh yang selalu hidup dalam tuntunan keutamaan-keutamaan (virtus), dalam kesatuan hati (concordia) dengan semua orang,
senantiasa memelihara dan menjaga kepercayaan (fides) dari orang-orang di sekitar, dan terus berusaha
mencintai kebenaran (veritas).
Karena
itu, mereka membangun jembatan perdamaian lewat hubungan prabadi. Ini
sangat penting. Mereka berpegang teguh Urip iku urup. Hidup itu hendaknya memberi manfaat
bagi orang lain di sekitar kita. Sekecil apa pun manfaat yang kita berikan,
jangan sampai menjadi orang yang meresahkan masyarakat.
Lewat
“jembatan hubungan pribadi itu”, mereka mendesak dan mengajak setiap orang
untuk melihat, memandang orang lain sebagai manusia. Hubungan yang kuat, tulus,
muncul dari hati yang bersih dan dalam inilah yang mendasari lahirnya
persaudaraan sejati, dan pada akhirnya perdamaian sejati.
Sebab,
seperti bunyi peribahasa Jawa, Manungsa
iku kanggonan sipating Pangeran, manusia itu memiliki sifat
Tuhan. Misalnya, kudus dan suci, penuh kasih, welas asih, dan kerahiman, pengampun, panjang sabar
dan setia, murah hati, adil dan selalu baik kepada siapa pun tanpa
diskriminasi.
Rukun
hidup manusia merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari
kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan
sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya.
Karena
itu, manusia tidak akan memperoleh keutamaan serta tidak akan mampu hidup
seorang diri, bila tidak peduli pada yang lain meskipun berbeda dalam banyak
hal. Manusia harus menanamkan perilaku menghargai orang lain. Menghargai orang
lain berarti mengakui harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
diciptakan Tuhan.
Kalau
umat beragama– misalnya antara Islam dan Kristiani–bisa saling menerima satu
sama lain sebagai saudara dan dengan demikian bisa hidup bersama secara rukun
dan damai, saling menghormati secara tulus, maka perdamaian dunia pasti akan
terjadi.
Tentu
saja, perdamaian dunia itu akan semakin kokoh bila terjadi pula hal sama dengan
umat agama-agama yang lain; yang kesemuanya membawa mission sacre, tugas suci
membawa dan menciptakan perdamaian dunia.
Karena
itu, menjadi sangat penting dan mendesak dilakukan para pemimpin agama (juga
pemerintahan) bekerja sama dalam menyebarkan budaya toleransi, merobohkan
benteng kecurigaan, kebencian, keangkuhan golongan, dan permusuhan, mencegah
pertumpahan darah, dan menghentikan peperangan.
Harus
pula didorong agar manusia lintas iman (terutama di negeri kita ini)
memiliki hubungan yang lebih kuat, hidup berdampingan dengan damai, saling
menghormati, dan saling menghargai. Maka peristiwa terakhir yang terjadi
di Lombok Barat beberapa hari silam, tak perlu terjadi.
Ketiga
Kardinal Suharyo bersama keluarga besar KH Nasruddin Umar (Foto: Istimewa)
Ketika
Bapak Kardinal dan Imam Besar Istiqlal, bertemu, berbagi cerita, bermaaf-maafan
sebagai saudara, maka “Terowongan Silaturahim” antara Masjid Istiqlal dan
Katedral Jakarta, menjadi semakin bermakna. Terowongan itu adalah simbol
persaudaraan. Kata FW Dillistone (2002) simbol yang efektif adalah yang memberi
terang, daya kekuatannya bersifat emotif dan merangsang orang untuk bertindak.
Pertemuan
Hari Raya Idul Fitri, pertemuan halal bihalal Kardinal Suharyo dan KH
Nasatuddin Umar adalah salah satu makna dari “Terowongan Silaturahim”, ungkapan
persaudaraan sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan.
Bukankan
kata saudara-saudara kita di Sulawesi Utara, Torang samua basudara? Dan, Hari
Raya Idul Fitri—juga Hari Raya Paskah bagi umat Kristiani– ini menjadi momen
untuk meneguhkan persaudaraan sebagai sasama umat beriman itu.
Seperti
dikatakan dalam “Dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia
dan Hidup Bersama”, budaya dialog sebagai jalan; kerja sama timbal balik
sebagai kode etik; saling pengertian sebagai metode dan standar.
Karena
itu, agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan,
dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah.
Realitas tragis ini merupakan akibat dari penyimpangan ajaran agama.
Kata
Dokumen Persaudaraan itu, hal-hal tersebut adalah hasil dari manipulasi politik
agama-agama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang,
dalam perjalanan sejarah, telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen
keagamaan di hati para perempuan dan laki-laki agar membuat mereka bertindak dengan
cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama. Hal ini dilakukan untuk
mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi dan picik.
Maka
pertemuan Kardinal Suharyo dan Imam Besar Nasaruddin Umar, di masa sekarang
ini–terutama bagi negeri kita–memiliki arti dan makna yang sangat dalam dan
penting dalam usaha mempertahankan keutuhan bangsa dan negara, membangun
serta memperkokoh persaudaraan umat beriman.(Sup)
Posting Komentar