Jepara,
Berita Moeria (Bemo)–
Dengan hanya membayar
retribusi sebesar Rp 8.000. setiap orang sudah “resmi” memasuki Museum Raden
Ajeng (RA) Kartini. Terletak berdampingan dengan Alun Alun Kota Jepara. Atau
berada di seberang komplek pendopo-rumah dinas bupati-kantor Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Jepara.
Hari ini , Kamis 21 April 2022
bertepatan dengan hari Kartini- Hari kelahiran yang ke 143. Hari Kartini
ditetapkan pada masa pemerintahan presiden pertama Republik Indonesia Soekarno.
Melalui keputusan presiden nomor 108 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964. sekaligus
penetapan sebagai Pahlawan Nasional. Nah “mumpung” hari Kartini, mari kita
kunjungi museum tersebut.
Tapi sebelumnya kita simak dulu arti museum.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 66
Tahun 2015 :adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan,
memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat.
Sedang berdasarkan konferensi umum International
Council Of Museums(ICOM) yang ke-22 di Wina, Austria, pada 24 Agustus 2007:
adalah lembaga yang bersifat tetap. Tidak mencari keuntungan. Melayani
masyarakat dan perkembangannya. Terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, merawat,
meneliti, mengomunikasikan, dan memamerkan warisan budaya dan lingkungannya
yang bersifat kebendaan dan takbenda untuk tujuan pengkajian, pendidikan, dan
kesenangan..
Adapun tujuan pendirian Museum R.A. Kartini itu
sendiri : Mendokumentasikan dan memamerkan peninggalan berupa benda-benda,
pakaian-pakaian, dan karya tulis R.A. Kartini. Memvisualkan kehidupan (biografi
R.A. Kartini).
Pusat koleksi dan dokumentasi benda-benda bersejarah
dan budaya yang tersebar di daerah Jepara. Menjadi tempat penelitian ilmiah.
Tempat penikmatan hasil karya seni. Media pembinaan pendidikan.Suaka dan
konservasi karya budaya.Menjadi objek pariwisata.Menunjang penelitian di bidang
pendidikan dan kebudayaan.
Museum R.A. Kartini dibangun di atas tanah yang
luasnya mencapai 5210 meter persegi dan luas bangunan 890 meter persegi. Museum
ini didirikan pada 30 Maret 1975 pada masa pemerintahan Bupati Soemarno
Djojomardowo, S.H. Sedang peresmiannya pada 21 April 1977 oleh Bupati Soedikto,
S.H. Pada saat diresmikan, museum ini terdiri atas tiga gedung utama. Jika
dilihat dari atas, gedung tersebut berbentuk huruf "K",
"T", dan "N" yang merupakan singkatan dari KARTINI.
Pada 2018 museum R.A. Kartini
memperoleh sejumlah foto hibah dari kedutaan Belanda. Foto tersebut meliputi
sejumlah koleksi foto Kartini dan sebagian foto Kota Jepara tempo dulu.
Bertambahnya foto koleksi, diharapkan dapat semakin menarik minat wisatawan
untuk mengunjungi museum.
Terlebih lagi, interior dalam museum juga dilakukan renovasi-perbaikan
secara bertahap mulai 2016. Diawali renovasi Ruang I, tempat menyimpan koleksi
barang-barang R.A. Kartini. Tahap kedua (a, 2017) Ruang II dan tahap ketiga (2018) renovasi
bagian luar dan Ruang III yang menyimpan koleksi barang keluarga R.A. Kartini.
Khusus Ruangan Jepara Kuno maupun Ruangan Dar Oes
Salam yang sebelumnya terkesan angker. Dirubah dan saat ini tampil elegan. Dilengkapi
pencahayaan yang memadai.Begitu pula perbaikan penyediaan ruang aula, paseban, dan tempat
parkir yang memadai.
Sejarah pendidikan
Sejak kecil R.A. Kartini dikenal
sebagai anak yang gesit, sehingga dijuluki TRINIL dari ayahnya. R.M.
Sosroningrat . Ia disekolahkan di Europese Lagere School (ELS) hingga usia 12
tahun. Disinilah Kartini belajar Bahasa Belanda. Sebenarnya ia ingin
melanjutkan pendidikannya, tetapi terhalang tradisi. Yaitu anak perempuan harus tinggal di rumah untuk
‘dipingit’.
Kartini mentaati tradisi tersebut. Namun demikian ia aktif berkorespondensi-
surat-menyurat dengan temannya di Belanda. Dari sinilah muncul ketertarikannya
terhadap pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah, dan
buku. Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan
pribumi.
Sejumlah teman korespondensinya
antara lain Estelle “Stella” Zeehandellar, Nyonya Hilda, dan Rosa Abendanon.
Pada ketiga temannya tersebut, Kartini
sering menyampaikan keinginan untuk menjadi seperti kaum muda “Eropa”.
Kartini menggambarkan penderitaan perempuan Jawa
akibat kungkungan adat. Tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah. Harus
dipingit, dan dinikahkan dengan laki-laki yang tidak dikenal, serta harus
bersedia dimadu.
Cita-cita luhur
R.A. Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan
belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau
persamaan hak wanita pribumi. Itu dianggap hal baru yang dapat mengubah
pandangan masyarakat.
Kartini sebenarnya memiliki kesempatan belajar di
negeri Belanda setelah ada tawaran beasiswa dari pemerintah Belanda. Sayangnya,
budaya aristocrat Jawa membuatnya melawan arus. Beasiswa itu pun atas
permintaan R.A. Kartini dialihkan kepada seorang pemuda cerdas asal
Bukittinggi, K.H. Agus Salim.
Pernikahan.
Pada 12 November 1903 ketika berusia sekira 24
tahun, Kartini dinikahkan dengan K.R.M.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang yang telah memiliki tiga
orang istri.
Ia sempat mendirikan
sekolah wanita yang berada di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang
yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka. Dalam surat-suratnya, Kartini
menyebutkan sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengaiar, dan mengembangkan
ukiran Jepara.
Pada 13 September 1904 Kartini melahirkan putra
pertamanya yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Sayangnya, setelah
melahirkan kondisi fisiknya melemah dan semakin memburuk. Akhirnya, R.A.
Kartini menghembuskan nafas terakhir pada 17 September 1904 dalam usia 25
tahun. Kemudian dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang..
Habis Gelap Terbitlah Terang.
Setelah wafat,
Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Belanda. J.H. Abendanon ketika itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Dari
situ kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul 'Door Duisternis tot Licht'
yang kemudian diterjemahkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang pada
1911.
Pemikiran Kartini mengubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R Soepratman (pencipta lagu berjudul 'Ibu Kita Kartini') (Dikutip dari sejarah museum RA Kartini/Sup)
Posting Komentar