PESAN DARI PUNCAK GOLGOTA
Ilustrasi: Istimewa
Satu
Benar, yang dulu selalu dikatakan Pak Jakob Oetama kepada kami para wartawannya.
Kata Pak Jakob, “Kompas itu Indonesia mini.”
Maka menjadikan Kompas
sebagai “Indonesia mini” adalah semacam mission sacre, tugas suci yang
harus diwujudkan, apapun hambatan dan rintangan yang menghadang. Dengan
harapan, terwujudnya “Indonesia mini” yang “sungguh-sungguh Indonesia”, akan
menjadi batu pijakan untuk mewujudkan “Indonesia Besar yang sungguh-sungguh
Indonesia.”.
Namun, kami
menyadari, mewujudkan “Indonesia Besar” yang “sungguh-sungguh Indonesia” tidak
mudah, terutama sekarang ini. Yakni ketika negeri ini dikuasai nafsu-nafsu,
termasuk nafsu untuk kuasa dengan menggunakan segala cara demi tergenggamnya
kekuasaan itu.
Pesan wanti-wanti Pak
Jokowi beberapa hari lalu kepada tujuh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU),
menegaskan hal itu. Pak Jokowi mewanti-wanti jangan ada lagi
masyarakat yang terprovokasi isu politik identitas di dalam pelaksanaan Pemilu
2024.
Pak Jokowi ingin
menegaskan bahwa Indonesia yang sungguh Indonesia adalah Indonesia yang plural,
yang majemuk dalam segala hal: suku, etnis, agama, bahasa, budaya, golongan,
dan lain sebagainya. Bukan Indonesia, kalau tidak plural, kalau tidak majemuk.
Tetapi, tidak cukup
berhenti sampai di sini. Pluralitas itu kita akui bersama, kita jaga bersama,
kita pelihara bersama, kita hidup-hidupi bersama, dan sama-sama kita hormati.
Kemajemukan itu sudah ada sebelum Negara Indonesia ini ada. Pluralitas itu pula
yang kemudian diteguhkan dan disatukan dalam Sumpah Pemuda 1928.
Selama 30 tahun menjadi
wartawan Kompas, saya merasakan bagaimana “Kompas (yang)
Indonesia mini” tersebut terus diusahakan untuk diwujudkan, dijaga, dan
dilestarikan oleh semua anggota keluarga Kompas. Tidak hanya
di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.
Kami tidak pernah
bersoal, tidak pernah mempermasalahkan berbagai perbedaan antara lain
suku, etnis, dan bahkan agama antar-kami. Hubungan kami, meski beda suku,
etnis, maupun agama begitu cair. Tidak ada sekat-sekat. Kami satu keluarga.
Kami bisa saling meledek
bahkan menyinggung hal-hal yang dianggap peka itu, tanpa menimbulkan persoalan,
tanpa merasa tersakiti. Karena ada trust di antara kami. Ada
keterbukaan hati untuk saling menerima apa adanya..
Setiap bulan Puasa, seperti sekarang ini, saban hari kami buka puasa bersama. Kami bergiliran menyediakan dan menyiapkan buka puasa bersama, tak peduli agamanya apa. Inilah ungkapan persaudaraan kami. Saat buka puasa ini, semangat persaudaraan itu benar-benar terasa.
Foto: opini.telegraf..co.id
Dua.
Sering saya bertanya, mengapa kami yang beda tidak hanya
etnis, suku, bahkan agama bisa bersatu bagai saudara; sementara di “Indonesia
Besar” masih saja ada yang memersoalkan dan juga menggunakan untuk keuntungan
diri? Terutama dalam hal berbeda agama..
Mungkin karena kami memahami seperti yang dikatakan oleh Karen
Armstrong (2009) bahwa agama bukanlah sesuatu yang terutama menyangkut pikiran
manusia, melainkan lebih pada perbuatan manusia. Kebenarannya diperoleh lewat
amalan langsung.Kami sama-sama meyakini bahwa iman tanpa perbuatan (baik)
adalah omong kosong. Iman tanpa perbuatan (baik) adalah mati.
Bukankah semakin beriman,
berarti semakin bersaudara. Dan, semakin berbelarasa? Meski bukan berarti kami
tanpa cela.
Armstrong
mengibaratkan, tidak ada gunanya membayangkan dapat menyetir mobil hanya dengan
membaca manual atau memelajari peraturan lalu lintas. Baru setelah kita mencoba
menyetir, pada saat itulah semuanya terasa tepat pada tempatnya..
Sama halnya, hampir semua
orang tahu bahwa tiada satupun agama yang menganjurkan, yang
memerintahkan para penganutnya untuk saling membenci, apalagi membenci yang
tidak seagama. Semua agama mengajarkan cinta kasih kepada sesama
manusia, meski dalam rumusan yang berbeda-beda.Tahu saja tidak cukup,
tentu saja. Tetapi harus berani memraktikkannya, bukan justru melakukan hal
yang sebaliknya. Sebab, bukankah agama pada dasarnya mengajarkan hal-hal yang
baik saja.
Karena itu, orang beriman
bersama dengan semua orang apapun agamanya yang berkehendak baik:
menumbuh-kembangkan hati nurani yang baik, bersih, benar,
mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya dihadapan Tuhan dan sesama. Peka
dan terbuka terhadap bimbingan Ilahi.
Kata Karen Armstrong (2015)
dalam semua tradisi spiritual besar ditegaskan bahwa kepedulian kepada semua
orang (tidak hanya kepada yang segolongan atau yang cocok dengan kita) adalah
tolok ukur spiritualitas yang sejati.
Dengan itu, yang dicari
adalah mencapai suasana batin yang tidak mementingkan diri sendiri,
seperti juga yang dicari orang dalam yoga, yang tujuannya melepaskan unsur
“kita” dari pikiran dan perilaku kita—obsesi diri yang membatasi
kemanusiaan kita dan menghalangi kita menuju transendensi, yang dikenal dengan beragam
nama seperti Brahman, Dao Nirwana, atau Allah.
Ketiga.
Pernah saya baca
naskah yang disampaikan Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, pada Studium
Generale, 19 Agustus 2019, Fakultas Teologi Wedabhakti Fakultas
Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kardinal mengingatkan arti
penting Pancasila bagi kita, bangsa Indonesia yang majemuk ini:
Nilai-nilai kemanusiaan
yang luhur seperti yang ada dalam Pancasila itu terdapat juga dalam ajaran
Gereja. Andaikata tidak ada Pancasila, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, keadilan sosial, itu juga sudah harus dijunjung tinggi
dan diperjuangkan oleh Gereja Katolik.
Dengan menerima Pancasila
itu, kata Kardinal, umat Katolik tidak merasa menerima tambahan beban,
melainkan mendapat tambahan dukungan dan bantuan dari Negara Republik
Indonesia.
Mayoritas Umat Muslim,
melanjutkan semangat para Pendiri Bangsa yang beragama Islam, sampai sekarang
menerima Pancasila sebagai ideologi Bangsa. Ideologi yang merupakan kesepakatan
bersama seluruh unsur bangsa.
Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama sebagai arus utama umat Muslim yang mendukung NKRI yang
berdasarkan ideologi Pancasila, menekankan Ukhuwah Wathoniyah, kerukunan
dalam bingkai kebangsaan Indonesia, di samping Ukhuwah Islamiyah dan
bahkan terbuka kepada Ukhuwah Insaniyah/Basariyah,
kerukunan berdasarkan: sama-sama manusia ciptaan Allah.
Terhadap arus radikalisme
dan kekerasan, mereka bersikap: jalan tengah atau wasatiyyah tidak
ekstrim ke kiri sampai kurang peduli terhadap agama, dan tidak ekstrim ke kanan
sampai memandang hanya fahamnya yang benar dan menganggap salah semua yang lain
dan memusuhinya.
Umat Hindu, Budha, Kong
Hu Chu dan para penghayat Kepercayaan, sama-sama mendukung Pancasila sebagai
Ideologi Bangsa dan NKRI. Itu semua berarti bahwa dengan terang iman agama dan
kepercayaan masing-masing, dengan penyelenggaraan Ilahi, terdorong untuk hidup
sebagai warga bangsa dan negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila, karena
nilai-nilai Pancasila serasi dengan nilai-nilai dasar iman mereka
masing-masing.
Ilustrasi foto: Istimewa
Empat.
Maka kata Ahmad Syafii
Maarif atau Buya Syafii (2010), dengan Pancasila yang dipahami dan dilaksanakan
secara jujur dan bertanggung jawab, semua kecenderungan politik identitas
negatif-destruktif yang dapat meruntuhkan bangunan bangsa dan negara ini pasti
dapat dicegah.
Pluralisme etnis, bahasa
lokal, agama dan latar belakang sejarah kita jadikan sebagai mozaik kultural
yang sangat kaya, demi terciptanya sebuah taman sari Indonesia yang memberikan
keamanan dan kenyamanan bagi siapa saja yang menghirup udara di Nusantara ini.
Itulah udara kemanusiaan
dalam keluarga manusia kita, yang terbebas dari kepentingan sempit. Karena kita
semua berada di perahu yang sama, di tengah badai sejarah yang belum reda.
Karena itu, bukan tanpa
alasan kalau Pak Jokowi, mengingatkan bahkan berpesan, jangan lagi
membuat masyarakat terprovokasi oleh isu-isu politik identitas. Pak Jokowi,
tidak ingin bangsa ini terpecah-belah karena nafsu kuasa bersenjatakan
atau bermantel atau berselubung politik identitas. Pilkada DKI 2017, menjadi
contohnya; juga Pemilu 2019.
Hanya keledai keras
kepala, bodoh, dan dungu saja yang dua kali terperosok pada lubang yang sama.
Begitu kata pepatah. Artinya, tidak semua keledai keras kepala, bodoh, dan
dungu.Kalau tidak semua keledai keras kepala, bodoh, dan dungu maka hanya
manusia keras hati, keras kepala, bodoh, dan dungu yang hatinya diselubungi
nafsu hewani saja yang terperosok untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Dan
akhirnya, menjerumuskan bangsa ini ke jurang yang dalam.
Sebab, menggunakan
politik identitas untuk meraih kekuasaan adalah pengingkaran terhadap
pluralitas, kemajemukan bangsa ini. Politik identitas juga bentuk penyangkalan
terhadap nilai-nilai demokrasi, hak-hak asasi manusia, toleransi, dan juga
kesetaraan gender. Bila demikian, kata Buya Syafii mengutip ucapan mantan
presiden Ceko, Vaclav Havel, “….modern man has lost his transcendental
anchor.”
Puncak Golgota (Ilustrasi foto: Istimewa)
Lima
Sebenarnya, 2000 tahun silam, pesan itu sudah pernah disampaikan di
puncak Golgota. Di puncak bukit itulah tumbuh pohon kasih yang berbuah
cinta. Cinta yang telah membebaskan manusia berpikiran sempit, yang hanya
mementingkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, golongannya sendiri.
Mereka yang terbebas dari
kepentingan sempit—entah itu suku, agama, ras, kelompok, maupun golongan, dan
segala yang membedakan—serta mengutamakan kepentingan bersama telah menegaskan
martabat manusia sebagai pribadi. Pribadi yang penuh cinta.
Manusia yang terbebas
dari kepentingan sempit—hati dan pikirannya—akan terus menabur kebaikan untuk
kepentingan orang lain, menanamkan tindakan kebaikan dengan cuma-cuma, dan
menjadikan dirinya bagian dari cakrawala rencana kebaikan Tuhan yang luar
biasa.
Manusia bukan hanya
sesuatu, melainkan seseorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas
dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan
orang lain, yang dapat mengimani dan mencintai Sang Pencipta.
Inilah antara lain yang membedakan manusia dengan ciptaan yang lain. Meskipun
tetap saja masih ada yang tidak bisa melepaskan “nafsu hewani”-nya. Kata Karen
Armstrong, dorongan “mendahulukan aku” yang diwarisi manusia dari nenek moyang
reptil ini bersifat otomatis, langsung, dan sangat kuat. Dorongan-dorongan itu
memasuki semua kegiatan manusia, termasuk agama, dan sulit dilawan.
Maka itu, manusia yang telah terlepas dari kepentingan sempit itulah yang akan
terbang dengan sayap seperti rajawali; meskipun berlari tidak akan menjadi
lelah, meskipun berjalan tidak akan pernah lelah. Karena hidup dalam
kebersamaan penuh cinta, seperti yang terasa di “Indonesia mini”, adalah wujud
sebagai ciptaan yang paling mulia dari Sang Maha Pencipta.
Semoga demikian pula
terjadi di “Indonesia Besar.”
Selamat Paskah
2022. .(sup)
Posting Komentar