JIKA TIDAK ADA MALAM
Tigapuluh dua tahun lalu. Suatu malam, dua sahabat—Victorawan Sophiaan dan Heru
Baskoro (alm)—menemukan saya dalam kondisi badan demam tinggi terbaring, di
kamar sebuah rumah yang dikontrak kantor di kawasan Palmerah.
Kedua
sahabat itulah yang membawa saya ke rumah sakit. Saya langsung dibawa ke UGD RS
St Carolus.
Itulah
kali pertama, saya dirawat di rumah sakit: opname. Tiga hari, tiga malam
terbaring di tempat tidur di sebuah ruangan kelas dua di RS St Carolus,
Jakarta. Jarum yang dihubungkan ke botol infus dengan selang plastik, menancap
di punggung tangan kiri. Makan tiga kali sehari. Sehat. Bergizi.
Ada
yang tak terlupakan hingga kini. Baru kali ini pula, saya mendapat kiriman
karangan bunga. Tidak hanya satu, dua bahkan.
Sebuah
rangkaian bunga yang begitu indah dari pemimpin tertinggi tempat saya bekerja:
Pak Jakob Oetama, ketika itu. Dan, satunya lagi yang juga indah dari atasan
saya langsung Mas Raymond Toruan.
Pada
hari ketiga, sebelum keluar dari rumah sakit, saya bertanya pada dokter. Dok,
saya sakit apa?
Jawaban
dokter sungguh mengagetkan, sekaligus membuat saya sangat malu saat itu.
“Kurang gizi,” kata dokter.
Tigapuluh
dua tahun kemudian, April 2022. Suatu siang saya dibawa ke RS Puri Cinere oleh
istri. Karena, kondisi badan kurang bagus.
Ketika
terbaring di ruang UGD, dengan jarum infus menancap di punggung tangan kiri,
saya teringat kenangan 32 tahun silam, ketika dibawa dua teman masuk UGD St
Carolus. Lalu diinfus. Dan, akhirnya opname.
Tiga
hari pula, saya terbaring di sebuah kamar di RSPC, ditemani istri; ditangani
dokter yang sangat baik, ramah, bicara apa adanya khas Malang–daerah
asalnya–banyak bicara, suka diskusi, dan menjelaskan soal penyakit secara
sederhana dan jelas. CT Scan kepala, sudah saya jalani, Rontgen dada atau
rontgen thorax juga sudah. Kata dokter, hasilnya baik semua.
Sambil
terbaring, merasakan rasa pusing kepala dan perihnya perut, saya bertanya-tanya
dalam hati: apakah sejarah selalu berulang; termasuk sejarah perjalanan hidup
saya ini? Atau ini hanya kebetulan saja?
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya lebih senang mengikuti pendapat
orang-orang waskita, witjaksana, mumpuni, orang-orang yang sudah menep,
orang-orang hebat bahwa apa yang terjadi dalam hidup ini adalah providentia Dei, penyelanggaraan
Ilahi.
Terdengar
sangat sok, mungkin.
Barangkali benar. Walaupun kata Sang Pengkhotbah, nihil sub sole novum, tak ada
sesuatu yang baru di bawah matahari. Yang baru adalah bagaimana cara kita
melihat dan menyikapinya.
Karena
itu, sebagai wartawan, kami dulu oleh Pak Jakob Oetama diajari untuk selalu
memegang semangat gumunan agar
tidak tersandera oleh prinsip “nihil
sub sole novum “. Terus diam saja. Kehilangan daya kreativitas.
Maka
bertanya adalah “hukum besi” pertama yang harus ditaati. Misalnya, mengapa
menjelang lebaran harga-harga kebutuhan pokok selalu naik dari waktu ke waktu?
Mungkin bedanya sekarang, kenaikan harga langsung dijadikan komoditas politik.
Dulu juga begitu, tetapi sekarang semakin menjadi-jadi. Semua-semua
dipolitisasi, dipakai baju politik.
Mengapa
beberapa waktu lalu soal penundaan pelaksanaan pemilu dan perpanjangan masa
jabatan presiden terus diramaikan. Padahal Presiden Jokowi sudah jelas-jelas
menyatakan menaati ketentuan konstitusi. Dan, terakhir melarang para menteri
membicarakan hal itu lagi. Apa benar ada bohir-nya?
Mengapa
masih banyak pejabat korup? Mengapa kehidupan bertoleransi rapuh? Mengapa orang
cenderung show of force dalam segala macam
bentuk dan manifestasinya tidak hanya di pusat tetapi justru di daerah-daerah?
Mengapa masih saja banyak tersangka teroris yang ditangkap Densus 88? Mengapa
banyak orang beragama tetapi tak beriman?
Mengapa
banyak orang bicara tentang apa pun, tentang banyak hal, tanpa sikap tahu diri,
dan tanpa pengetahuan. Hal semacam itu oleh Alberto Montano disebut sebagai
todologi. Mungkin kalau di sini lebih tepat disebut trondolo.
Sebenarnya,
yang dicari banyak orang bukan sekadar fakta dan masalah yang tampak. Tetapi
latar belakang, riwayat dan prosesnya, hubungan kausal maupun hubungan
interaktif.
Lewat
media, orang tidak sekadar ingin tahu, bukan berwacana saja, tetapi ingin
memahami arti dan makna peristiwa tersebut. Tetapi, sayangnya, kebanyakan media
sekarang sudah tak mampu menyuguhkan makna itu. Mereka sibuk urusan lain dengan
beritanya, entah untuk memenuhi kepentingan diri atau pihak lain.
Tetapi
kata Pak Jakob, lagi pula, jika dipikir lebih jauh, apakah artinya makna, tahu
duduknya perkara, jika dalam persoalan-persoalan yang mendesak dan strategis,
pencarian dan pendekatan solusi tidak ditawarkan.
Kembali
berlaku di sini tuntutan politics
of value bahwa pendekatan dan arah solusi haruslah bermuatan
keadilan, persamaan, pembelaan kepada yang lemah dan kepada yang banyak.
Tetapi,
harus diakui bahwa sekarang media tidak lagi dinilai sebagai sumber penyejuk
dan tempat berdialog berbagai masalah publik. Media sudah lebih mengusung
kepentingan politik, ideologi orang, kelompok, partai, pengusaha, atau siapa
pun yang mampu memengaruhi, dan bahkan menghidupinya. Maka seperti tahun 2014
dan selanjutnya terjadi pertarungan media. Apalagi, media sosial: sungguh
sangat dahsyat di sana ada hoaks, ujaran kebencian, fitnah, kebohongan,
caci-maki, intoleransi dan sebagainya.
Ah, mengapa saya malah ngelantur ke mana-mana. Padahal, saya hanya ingin cerita
tentang apa yang sudah terjadi dan saya alamai. Dan, masih saya ingat. Sebab,
kata orang, begitu kamu membiarkan kegelapan datang, dia tidak akan pernah
pergi lagi.
Saya
ingat kalimat bijak demikian, ketika masih terbaring di rumah sakit: Jika tidak
ada malam, kita tidak akan menghargai siang, kita juga tidak dapat melihat
bintang-bintang dan luasnya langit. Kita harus mengambil bagian yang pahit
dengan yang manis. Ada tujuan Ilahi dalam kesulitan yang kita hadapi setiap
hari.
Maka
saya tutup dengan mengutip ucapan Hans Christian Andersen (1805-1875) idola
anak-anak kecil di masa lalu, “Kehidupan setiap manusia adalah dongeng yang
ditulis oleh jari-jari Tuhan….” *(Sup)
Posting Komentar