Berhenti Kegiatan Galian C Klumpit.

salah satu sudut lokasi galian C desa Klumpit Gebog Kudus

Kudus, Berita Moeria (Bemo)- Sejak dua hari terakhir, segenap aktivitas penggalian dan pengangkutan tanah liat . Atau yang lebih dikenal sebagai golongan C di Desa Klumpit Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus  berhenti total. Tidak nampak lagi alat berat, maupun lalu lalangnya armada truk serta tenaga kerja.

            Namun menyisakan jalan yang rusak berat.Jalan yang dimaksud sebenarnya bagian dari lahan milik warga setempat yang disewa pengusaha galian C untuk lalulintas armada angkutan – truk dan alat berat

            Selain itu lahan yang semula rata, berubah menjadi lobang lobang besar. Sebagian lagi masih berupa gugusan tanah yang belum sempat dikepras dan dikeruk. Terlihat pula  sebagian lahan masih tergenang air.

            Bahkan yang masih menjadi tanda tanya, apakah berhentinya aktivitas galian C itu untuk selamanya. Atau seperti yang terjadi selama ini, setiap kali kambuh- saat aparat maupun warga tidak konsisten mengawalnya. Desa Klumpit sampai sekarang belum pernah ditetapkan Pemkab Kudus sebagai areal golongan C.

Sebagian lahan yang belum sempat digali

            Sedang  Hasil Rapat Koordinasi  per Kamis  (19/8/20021) usaha penggalian C di Desa Klumpit tetap ditutup. (dilarang menambang lagi)

            Berita acara tersebut ditanda-tangani  sembilan orang di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)  Jalan Sosrokartono Kudus. Mereka adalah Djati  Solechah (Kepala Satpol PP saat itu dan kini berganti tugas di Sekretaris DPRD Kudus), Nur Afandi (Kecamatan Gebog) AKP Abdul Fatah, (Polsek Gebog), Serma M Arif Koramil Gebog), Subadi (Pemdes Klumpit), Abdur Rohman (BPD  Klumpit), Heri Santoso (pengusaha galuan C), Suratman (pengusaha galian C) dan Sumartono perwakilan warga Desa Klumpit,

            Berdasarkan pelacakan langsung di lapangan, maupun data tertulis yang dikumpulkan  Bemo, Desa Klumpit yang memiliki lahan seluas sekitar  337 hektar (pembulatan) tidak memiliki irigasi teknis. Padahal dari luas tersebut 233 hektar diantaranya adalah lahan pertanian.

            Dengan rincian  195 hektar diantaranya hanya mengandalkan irigasi setengah teknis dan selebihnya adalah lahan kering. Kondisi lahan seperti itulah yang menjadikan sektor pertanian desa Klumpit tidak mampu dioptimalkan.  Nyaris setiap tahun sebagian besar lahan hanya ditanami tebu dan polowijo.

            Maka banyak pemilik tanah yang beralih menjual tanahnya untuk dijadikan bahan baku bata. Sebagian lagi menyewakan lahannya untuk tempat mencetak, menjemur dan membakar bata. Cara ini dianggap lebih menguntungkan. Dan kenyataan bahan baku – berupa tanah liat dari Desa Klumpit ini dianggap berkualitas. Maka mulailah banyak bermunculan pengrajin bata.

            Itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan saat ini data acaknya mencapai ratusan. Disadari atau tidak ini berkembang menjadi sebuah usaha yang mampu membuka lapangan kerja baru.

Sebagian berupa sawah sebagian lagi berupa galian C

            Sebagai gambaran setiap usaha pembuatan bata ini minimal dibutuhkan dua tenaga kerja. Lalu membutuhkan bahan baku berupa tanah liat, bahan bakar brambut dan kayu. Kemudian masih harus ditunjang pemasaran yang konon kebutuhan bata semakin tahun semakin meningkat.  Dari kegiatan itulah munculah perputaran uang yang ternyata cukup besar- ratusan juta rupiah

            Untuk seorang pengrajin dengan standar produksi 10.000 bata, harus memiliki modal untuk membeli sekitar 5 truk tanah liat. Harganya bervariasi antaranya Rp 250.000 – Rp 270.000 per truk. Lalu lahan untuk membuat, menjemur hingga pembakaran dengan sewa paling murah Rp 1-2 juta/ musim. Ditambah dengan pembelian bahan bakar lebih dari Rp 2- 3 juta. Masih harus mengeluarkan biaya untuk tenaga pembakaran. “Sedang untuk tenaga untuk memproses hingga mencetak bata umumnya kamis suami isteri atau dibantu anak yang menangani. Jika dikerjakan orang lain (mburuhke), sudah pasti kami tidak kebagian keuntungan” tutur sejumlah  pengrajin bata yang ditemui terpisah.

            Haruskah dimatikan ?

            Dengan kondisi seperti itulah apakah pihak pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten-termasuk dinas instansi- jujur saja apakah sudah punya konsep matang. Misalnya pihak Dinas Pertanian dan Pangan, merombak lahan penambangan itu menjadi lahan pertanian produktif. Dengan cara membangun banyak sumur air dalam,  sehingga menjadi sumber irigasi.  Ini butuh biaya besar dan tidak serta merta dilakukan dalam waktu dekat.

Menyisakan kolam-kolam baru

            Itu pun belum diperhitungkan dengan kondisi warga-petani apakah mau-bersedia untuk merubah pola kerja yang sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun lalu. Dari pekerjaan membuat bata menjadi petani atau buruh tani.

\           Jika tidak dirubah menjadi lahan pertanian beririgasi teknis ( sepanjang tahun terairi), apakah akan dirubah bidang usaha lain. Seperti peternakan hingga industri rumah tangga. Itu pun tidak mudah dan juga butuh biaya besar.(Sup)

Komentar

Lebih baru Lebih lama