Kudus, Berita Moeria-Di bawah Menara Kudus di zaman dahulu terdapat sebuah sungai – yang disebut Sungai Lanang. Berisi air kehidupan yang di dalam bahasa Sanksekerta dinamakan Amrta atau Tirta Kamandu.
Menurut
Sholichin Salam penulis buku Kudus
Purbakala Dalam Perjongan Islam ( Penerbit Menara Kudus 1962 dan 1976), sumber kembar (mata air)
ini k3mduian ditutup dengan sebuah
menara masjid. Sebab dipandang membahayakan etikat masyarakat.
Jika
legenda ini diartikan secara filosofis, maka artinya sumber kembar
tersebut diartikan agama Hindu
dan Budha. Sedang banyu panguripan yang dimaksud adalah agama. “Sebab orang
hidup itu perlu air. Hidup itu tidak mungkin tanpa air. Jadi agama = ai itu
adalah tiang hidup manusia. Kedua sumber yang memancarkan banyu panguripan ini kemudian ditutup dengan pancaran Islam. Tempat ini dijadikan untuk
menyeru orang sholat. Menegakkan
sembahyang lima kali sehari untuk
menyempurnakan hidupnya,” tulis Sholichin Salam.
Sedang
menurut Rabiman , ahli penata batu
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Tengah yang ditunjuk
sebagai pimpinan pemugaran, fondasi Menara yang dibangun pada tahun Jawa 1609 atau tahun Masehi 1685, dibongkar dan dilengkapi
peredam getaran . Dengan tujuan agar
bangunan Menara Masjid Sunan Kudus tidak ambruk akibat hampir sepanjang 24 jam terkena getaran mobil
maupun motor yang melewati seputar
Menara. .
Sedang tehnik pembuatan peredam getaran mengacu teknik tradisional, dengan bahan baku
batu kali, batu kerikil dan pasir- tanpa menggunakan semen. Dengan ukuran panjang 1 meter, kedalaman 1,5 meter
dan dilengkapi serabut kelapa, ijuk yang
diletakkan diantara balok kayu.
Sedang pemasangan bata merah di seluruh tubuh bangunan
juga tidak menggunakan semen , melainkan hanya mengandalkan bata merah yang
lebih dahulu ditumbuk halus dan
disaring. Ditambah pasir dan gamping.
Khusus untuk bata merah harus dipesan dan didatangkan
dari Jatirogo, Tuban Jawa Timur. Dengan ukuran 25 x 5 x 15 centimeter/buah dan
30 x 6 x 30 centimeter.
Ukuran tersebut lebih
besar dibanding ukuran bata merah yang dijual-belikan di pasaran umum. “Bata
merah dari Jatirogo tersebut kualitasnya jauh lebih bagus dibanding produk
serupa yang dihasilkan pengrajin bata merah di Kudus, Jepara dan sekitarnya.
Tanah liat maupun proses pembuatan hingga pembakarannya harus lolos dari tes
laboratorium.. Produsennya menjamin, bata merah itu tidak mudah lumutan, tidak
mudah lapuk karena diguyur hujan dan serangan
burung gereja.” tambah Rabiman.
Menurut Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Profesor Doktor Soetjipto Wirjosuparto( lahir di Solo 1915 dan wafat di Canberra
1971), yang dikutip Sholichin Salam
dalam bukunya Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam ( cetakan kedua, terbitan
Menara Kudus 1976), kaki Menara
berbentuk denah bujur sangkar yang menjorok ke luar dan dipergunakan
sebagai tangga masuk.
Sedang bentuk kaki Menara sama dengan bentuk candi pada
zaman pra Islam. Terbagi menjadi 3 bagian, yaitu kaki menara, badan kaki menara dan puncak
kaki menara. Sedang penghias kaki menara berupa hiasan dekoratif berbentuk
ornamen geomatrik. Hiasan itu segi empat berada di ujung kiri dan samping kanan
berbentuk segitiga.
Adapun bentuk bangunan Menara, mirip dengan candi Jago
(Jayaghu)- tempat pemakaman Raja Wisnuwardhana yang didirikan pada 1275 – 1300 Masehi di Malang (Jatim)).
Lalu menurut Buku Inventarisasi
Benda Cagar Budaya, peninggalan sejaarh dan purbakala di situs Menara, situs Muria dan sekitarnya
(2007), tinggi Menara 18 meter dan luasnya 10 meter persegi berbentuk bujur
sangkar.Memiliki 20 undakan/trap. Dan pada tahun 1947 mustoko Menara hancur
disambar petir. Kemudian diganti engan bahan alumunium.(sup)
Posting Komentar