TERAWAN DAN CUCI OTAK
Terawan Agus Putranto
(Foto: www.tribunnews.com)Sahabat saya di Magelang, Mas Bejo menulis begini: Tiap
jagoan nampaknya perlu ironi agar tetap menunduk, merunduk, tawadhu, rendah hati.
Saya heran sekaligus kagum pada pendapat
Mas Bejo itu. Lebih kagum lagi ketika dia mengutip omongan Anatole
France (1844-1924), seorang penyair, novelis, sekaligus wartawan dari Perancis.
Anatole France mengatakan, la
gaieté de la réflexion et la joie de la sagesse.
Bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati riang tentang hal ihwal
yang berlebihan dan jadi bijaksana sambil tertawa. Ironi adalah pintu
menuju kearifan. Pendek kata begitu.
Ketika membaca tulisan Mas Bejo itu, kok
saya lantas ingat Dokter Terawan Agus Putranto, yang oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) diberhentikan sebagai
anggota IDI. Keputusan tersebut ditetapkan dalam Muktamar XXXI IDI di Banda
Aceh, Jumat, 25 Maret 2022.
Barangkali, apa yang dialami Prof Dr dr
Terawan Agus Putranto, SpRad(K) bisa dimasukkan dalam kategori ironi. Kata
ironi dalam KBBI diartikan sebagai kejadian atau situasi yang bertentangan
dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi
suratan takdir.
Terawan jagoan. Ini kesaksian banyak orang,
baik berpangkat atau tidak, baik berjabatan tinggi atau bawahan, baik tokoh
nasional atau tingkat daerah, serta bukan tokoh sama sekali alias rakyat
jelata. Pendek kata, banyak orang mengakui, Terawan hebat, jagoan. Tapi,
ada juga yang berpendapat lain disertai dengan berbagai macam alasan
untuk meyakinkan pihak lain bahwa penilaiannya benar.
Ini sih soal biasa. Inilah indahnya
demokrasi: berbeda pendapat (dan juga pendapatan) tapi tetap satu NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD1945.
Pendapat lain itulah yang telah menjadi
landasan jatuhnya hukuman dari MKEK IDI. Palu sudah diketok. Terawan
dihukum. Inilah ironinya. Menurut berita yang beredar, ada beberapa hal yang
menjadi penyebab jatuhnya hukuman itu. Terawan dipersoalkan antara lain
karena praktik komersial metode intra-arterial
heparin flushing (IAHF) alias “cuci otak”
untuk penderita stroke. Dan, karena melakukan promosi Vaksin Nusantara
sebelum penelitiannya selesai.
Dokter ahli radiologi ini memang kondang sebagai dokter penyembuh stroke
(dalam hal inipun muncul perdebatan). Banyak tokoh kondang yang memberikan
kesaksian telah disehatkan oleh Terawan.
Kesaksian bukan hanya dari tokoh nasional
pun banyak. Tetapi, ada yang mengatakan, dalam dunia medis kesaksian itu tak
penting. Tetapi, di lain cerita, sejumlah kolega Terawan menilai
metode itu belum terbukti secara klinis.
Ah, tentang hal ini, saya kurang paham.
Sahabat saya di Magelang pun, Mas Bejo ketika saya tanya juga mengaku
kurang paham, meski dia rajin mengikuti berbagai berita tentang Terawan.
Sahabat saya yang lain dari Madiun, Mbak
Yani yang bisa dikatakan tekun menggeluti dunia kesehatan malah
mengatakan, “bau politiknya kenceng.” Saya terkaget-kaget mendengar pendapatnya
itu. Apalagi, Mbak Yani paling tidak suka politik. Apa iya “berbau politik?”
atau bukan sebaliknya, “politik bau?” Atau mungkin seperti dikhawatirkan mantan
Menkes Siti Fadilah Supari, tindakan pemecatan itu ada hubungannya dengan
bisnis. Tidak tahulah.
Yah, memang sekarang itu semua selalu
“dikaitkan” (sebisa mungkin) dengan politik. Karena, politik yang kata orang
itu kotor, sekarang ini tampak “cantik jelita” memesona siapa saja yang
memandangnya; memikat dan menarik siapa saja yang punya nafsu bergelut dengan
politik.
Terlepas dari soal politik yang “cantik jelita” itu, yang pasti, karena Dokter
Terawan, maka istilah brainwashing, cuci otak menjadi viral, jadi bahan pembicaraan
menarik, akhir-akhir ini. Tidak hanya kalangan medis atau dokter spesialis saja
yang ngomongin soal cuci otak, yang juga berlomba-lomba menjelaskan,
membeberkan pandangan mereka di media sosial dengan sangat halus maupun kasar,
tapi juga masyarakat umum.
Terjadi adu kepinteran lewat media sosial
untuk menjelaskan soal “cuci otak.” Ada yang bisa mendudukkan perkaranya, ada
yang justru membuat bingung pembaca, ada yang nulis disertai ketidak-sukaan,
ada yang nulis disertai emosi, dan ada yang sekadar ingin numpang populer. Dah,
pokoknya macam-macam.
Ini semua gegara Dokter Terawan, dijatuhi
sanksi: diberhentikan sebagai anggota IDI.
Soal cuci otak, ada berpendapat yang
menyatakan dalam bidang medis yang dimaksud brainwashing adalah hampir sama dengan istilah DSA (Digital
Substraction Angiography) otak. Jadi
penamaan brainwashing sebetulnya
kurang begitu tepat untuk istilah kedokteran (Bethsaida).
Kata Handrawan Nadesul, (Kompas, 7 April 2018) mungkin tepat disebut brain
flushing atau kuras otak. Ibarat pipa leding
berkarat, pembuluh darah perlu digelontor. Jadi semacam pengurasan pembuluh
darah otak.
Itu kalau di dunia medis.
Istilah brainwashing, kata
Edward Hunter (1902-1978), dipungut dari China. Bukan untuk urusan medis, lebih
politik-ideologis. Ada sejarah panjang sampai akhirnya cara itu digunakan oleh
rezim komunis Beijing, Uni Soviet, dan Korea Utara untuk “mengolah” otak rakyat
negeri itu.
Kata Edward Hunter yang memopulerkan kata brainwashing, istilah brainwashing diambil dari bahasa Mandarin xi-nao:
xi (wash, mencuci) dan nao (brain, otak).
Menurut Philip S Naudus (2021) ungkapan China ini diturunkan dari ajaran Buddha
dan Tao tentang pembersihan mental. Jika seseorang kembali dari perjalanan yang
membuka mata, akan dikatakan bahwa otaknya telah dicuci.
Sebenarnya, sepuluh hari, 14 September
1950, sebelum Edward Hunter menulis tentang brainwashing di Miami News sudah ada orang lain yang mengemukakannya. Yakni, seorang novelis
yang juga propagandis, Paul Linebarger.
Menurut Charlie Williams, yang menemukan
tulisan Paul Linebarger saat menyusun disertasi, istilah tersebut
ditemukan Paul Linebarger saat mengobservasi Semenanjung Korea di awal Perang
Korea (1950-1953). Paul Linebarger menggambarkan apa yang dilihat sebagai
proses tanpa henti yang disebut dengan sebutan brainwashing” Dengan cara ini, para interogator komunis berusaha mengubah
orang-orang China dan Korea tunduk pada otoritas komunis (Charlie Williams,
2021)
Dalam rumusan Edward Hunter, proses cuci
otak ini “mengubah secara radikal (isi otak) sehingga pemiliknya menjadi
boneka hidup—robot manusia—yang tampaknya dari luar tidak ada kesan kejam.”
Jadi, pada awal mulanya brainwashing berarti indoktrinasi intensif Maoisme dan penindasan kejam
terhadap ideologi politik alternatif.
Karena itu, Hunter yang dikenal sebagai
wartawan, penulis, tukang propaganda, dan agen dinas rahasia AS ini
mengingatkan bahayanya cuci otak ini. Hunter menyatakan polisi rahasia China dan
Uni Soviet mengembangkan teknik yang hebat ini untuk memanipulasi otak,
Proses cuci otak ini adalah “mengubah
secara radikal (isi otak) sehingga pemiliknya menjadi boneka hidup—robot
manusia—yang tampaknya dari luar tidak ada kesan kejam.”
Tentu, “cuci otak” yang dilakukan Terawan,
tidaklah demikian. Paling tidak Handrawan Nadesul menyebutnya brain
flushing, kuras otak.
Soal cuci otak ini, sahabat saya Ken Setiawan, pendiri Negara Islam Indonesia
(NII) Crisis Center, pernah bercerita. Kata Ken yang pernah menjadi korban cuci
otak NII, anak-anak muda ya laki, ya perempuan dicuci otaknya tidak hanya agar
benci pada negara, bahkan pada orangtuanya sendiri.
Jadi, ini sesuai dengan pengertian yang
disodorkan Merriam-Webster. Brainwashing adalah indoktrinasi paksa untuk mendorong
seseorang melepaskan keyakinan serta sikap politik, sosial, atau agama dan
untuk menerima ide-ide yang baru bertentangan (www.merriam-webster.com)
Otak mereka dibersihkan dari segala macam
pikiran lama, pandangan lama, keyakinan lama, dan juga ideologi lama digantikan
dengan semua yang serba baru: pikiran, pandangan, keyakinan, dan ideologi.
Misalnya, kata Ken, mereka tidak boleh mengakui NKRI, tidak boleh mengakui
Pancasila sebagai ideologi dan dasar bangsa, juga dilarang mengakui UUD 1945
sebagai dasar negara.
Menyanyikan lagu Indonesia
Raya juga dilarang. Demikian juga patuh dan
menghormati orangtua, dilarang. Mereka dicekoki agama dan nilai-nilai agama
versi para pencuci otak.
Ini, tentu juga beda bahkan sangat berbeda
dengan DSA (Digital Substraction
Angiography) dan juga cuci otak Dokter Terawan.
Yang satu urusan medis, yang satunya lagi urusan idiologi-politik. Ya, nggak ketemu.
IV
Maka benar yang dikatakan Anatole France, bersama ironi kita bisa merenung
kembali dengan hati riang tentang hal ihwal yang berlebihan; dan jadi
lebih bijaksana…. dan selalu ingat bahwa in
omnibus caritas, dalam segala hal bermurah hati
meskipun ironis…..
Posting Komentar