POLITIK MINYAK GORENG
Oleh : Trias Kuncahyono.
Minyak goreng (Foto: Istimewa)
Politik
itu luwes, ya Bung.
Begitu
kata sahabat saya dalam suatu obrolan di Studio Cemara, Rabu lalu sebelum
rekaman untuk program Trias Kredensial. Topik Trias Kredensial yang menjadi
bahasan kami adalah soal serangan militer Rusia ke Ukraina—yang oleh Vladimir
Putin disebut sebagai “operasi militer khusus”—dengan nara sumber Kusnanto
Anggoro dan Dina Prapta Raharja.
Sambil menunggu datangnya
narasumber dan rekaman, kami berempat ngobrol. Ya, namanya ngobrol, tidak ada
yang serius, dan sambil minum kopi serta makan makanan kecil, sore itu pisang
kepok rebus. Banyak yang kami obrolkan, mulai dari soal minyak goreng, survey
para calon presiden (yang resmi maupun yang tidak atau belum resmi),
radikalisme, masa jabatan ketiga, upaya-upaya untuk mendorong amandemen
konstitusi, pandemi Covid sampai soal kopi.
Betul Bung, politik itu luwes. Komentar kawan lain.
Ya,
politik memang luwes. Bila kita andaikan politik itu mahkluk hidup, diberi
pakaian apa saja dan dengan model apapun, pantas. Mau dengan pakaian daerah,
ok. Mau pakaian adat, ok. Mau pakaian suku, ok. Mau pakaian, agama, ok juga
(bahkan ini yang belakangan ini banyak yang dilakukan). Mau diberi pakaian
sangat indah, rapi, sangat menyenangkan, ok pula. Pendek kata, mengenakan
pakaian apa saja, pantas. Demikian pula, didandani, di-make-up seperti apa pun,
pantas-pantas saja.
Nah, kita kan pernah
menyaksikan ketika terjadi bencana besar di negeri ini—entah itu waktu tsunami
di Aceh, gempa besar di Yogya, bencana banjir bandang, atau yang lain di
daerah-daerah lain—politik itu berwajah bendera dan umbul-umbul. Partai-partai
politik berlomba-lomba memasang bendera dan umbul-umbul di daerah-daerah
bencana, sambil memberikan bantuan. Ada yang bilang, itu sebenarnya bukan
“politik kemanusiaan” tetapi “politik kampanye.” Yah, sudahlah. Memang begitu.
Bukan hanya itu. Bantuan-bantuan, misalnya, karung berasnya
dicap lambang partai. Apa dilarang? Yang, enggaklah. Sah-sah saja. Tapi kalau
lantas ditanyakan, etis atau enggah? Itu persoalan lain. Malah ada yang lebih
“nekad” lagi, pemberian bantuan dikaitkan dengan keanggotaan seseorang dalam
partai. Orang akan diberi bantuan asal mau menjadi anggota. Ini kebablasen, Bung.
Nah, sekarang ini ketika minyak goreng langka, muncullah
“politik minyak goreng.” Ada partai yang menjual murah minyak goreng pada
masyarakat. Kok mereka bisa dapat banyak, ya Bung? Padahal masyarakat kecil
susah banget mencarinya. Ada yang bertanya begitu. Ah, itu pertanyaan yang
“sulit dijawab.” Mereka kan mempunyai banyak jalur, jalan, koneksi, modal,
kuasa, dan sebagainya yang jauh lebih banyak dibanding rakyat kecil. Yang lain
bertanya, apa salah menjual minyak goreng kepada masyarakat di saat minyak
goreng langka? Ya, tidak. Apalagi dalih mereka—ini rumusan umum—membantu
masyarakat yang kesulitan.
Memang, itu titik utama dari politik, Bung: mengusahakan
kesejahteraan bagi masyarakat banyak (bonum
commune). Meskipun, pernyataan tersebut masih bisa diuji. Apa bener tujuannya “membantu
masyarakat yang kesulitan?” Atau bukan berbaju motif politik? Motif politik
jelang Pemilu 2024?.
Kalaupun ada motif politik, juga nggak salah. Wong namanya partai politik.
Hanya saja, semoga tidak berhenti sampai di sini. Kalau hanya berhenti sampai
di sini, ya itu namanya hanya “politik pencitraan.” Memang, politik pencitraan
diperlukan sebagai sarana menjual “komoditas” partai dan cara efektif mengubah
stigma negatif yang ada dalam masyarakat. Tetapi, dalam pencitraan yang
diutamakan adalah citraan itu sendiri, kemasan, kulit, bungkus, atau medium
pesannya, sedangkan isi pesan dikaburkan, digelapkan, dibelokkan, ditutupi secara
luar biasa atau bahkan diabaikan.
Mustinya, kan mereka hadir di tengah masyarakat tidak hanya
menjelang pemilu, tetapi dari waktu ke waktu, memberikan pendidikan politik
yang benar pada warga masyarakat agar masyarakat semakin sadar akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara; agar warga masyarakat benar-benar
sadar bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia yang plural, yang
majemuk, yang toleran, yang suka gotong-royong; dan agar warga masyarakat
pikiran dan hatinya tidak “dicaplok” kelompok-kelompok atau
organisasi-organisasi yang mengingkari kemajemukan kita, ke-Indonesiaan kita.
Warga masyarakat antre minyak goreng (foto: Istimewa)
Memang, Bung, kalau politik itu tujunnya hanya kekuasaan, ya
akan dipaksa diberi baju macam-macam demi tercapainya tujuan. Kata Niccolo
Machiavelli (1469-1527) seorang pelopor pemikiran teori-teori politik yang
sekularistik, menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan; dalam hal ini
kekuasaan. Yang paling afdol belakangan
ini adalah baju agama.
Padahal
Bung, saya mengutip pendapat Herry-Priyono (2022), politik pada mulanya
pertama-tama adalah “persetujuan horizontal untuk hidup bersama.” Kehidupan
bersama seperti apa? Tentu, yang saling hormat-menghormati, yang saling
menolong, yang menjunjung tinggi toleransi, yang menghormati pluralitas bangsa,
hidup berdampingan secara damai apapun suku, etnis, ras, dan agamanya, dan yang
ujungnya adalah terciptanya kesejahteraan bersama..
Dalam perkembangannya, Bung, baru kemudian bergeser ke “hubungan
vertikal untuk tunduk/taat). Nah, di sini sudah berkaitan dengan soal
kekuasaan, perintah, dan kewenangan hirarkis. Politik makin menunjukkan ciri
vertikal urusan negara, permerintahan, kekuasaan, otoritas kewenangan,
dan dinamika memperebutkannya. Bagaimana memperebutkannya? Yang, itu tadi, bisa
terjerumus ke rumus “menghalalkan segala cara.”.
Memang, politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan: dari
perhatian manusia, pertimbangan moral, kehidupan beragama dan sekuler, cara
hidup, mitos, mimpi, mimpi buruk; dari prakonsepsi dan praduga tentang isu-isu
fundamental, tema dan nilai transenden; dan dari perbedaan antara benar dan
salah, baik dan jahat, kesenangan dan kesakitan, kebebasan dan tirani, egoisme
dan altruisme (Raghavan Iyer, 1930-1995).
Tetapi, Bung, saya masih suka dengan apa yang dikampanyekan Romo
Mangunwijaya (alm), Gus Dur (alm) dulu, juga Buya Syafii Maarif dan Abdillah
Thoha, mungkin ada tokoh yang lain lagi yang saya tidak tahu. Mereka
mengampanyekan politik hati nurani.
Dalam
politik hati nurani ini, otoritas harus dipandu hukum moral. Politik seperti
ini mengarahkan pelaku dalam dunia politik selalu mengedepankan kebenaran.
Hati nuranilah yang seharusnya
menjadi otoritas utama karena dia menjadi suara yang selalu bergaung dan
memberontak ketika ada suatu situasi atau keadaan yang tidak baik dan benar.
Politik selalu membutuhkan hati nurani dan tunduk padanya karena dia hendak
membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk kemaslahatan bersama.
Barangkali di sini kita menempatkan politik minyak goreng, Bung..
Dalam rumusan lain, seorang teolog dari Spanyol, Jon Sobrino
mengatakan mereka yang memang bekerja dengan ketulusan hati, yang senantiasa
berusaha mewujudkan a
political love, cinta yang berpolitik, akan semakin nyata. Cinta
yang berpolitik bertujuan untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Di
sini politik menjelma menjadi cinta. Tidak sekadar dimanfaatkan untuk
memburu kekuasaan, di tengah penderitaan rakyat karena berbagai sebab.
Minyak goreng sudah berkali-kali dipakai, hitam (Foto: Istimewa)
Jadi bagaimana Bung, politik minyak goreng itu? Kata seorang
kawan yang nyaris sejak obrolan dimulai paling sedikit mengemukakan gagasan.
Ini juga nggak apa-apa. Karena, mendengarkan orang lain berbicara itu, bukan
pekerjaan mudah. Tidak setiap orang bisa mendengarkan orang lain. Sebab, perlu
kerendahan hati..
Ya, kalau bicara politik minyak goreng, kita harus menegaskan:
minyak goreng yang macam apa. Ada minyak goreng curah, minyak goreng kemasan,
krengsengan, virgin oil, minyak goreng
olah-ulang (yang sudah hitam-hitam dijernihkan lagi, pasti tidak sehat).
Belum lagi kalau dilihat dari bahannya. Ada minyak goreng kelapa sawit, minyak
goreng kelapa, minyak zaitun, minyak goreng canola, minyak goreng wijen,
minyak goreng kacang, minyak goreng anggur, minyak biji bunga matahari dan
masih banyak lagi.
Menurut saya, Bung, yang penting masalah minyak goreng jangan
digoreng-goreng saja, seperti isu-isu lainnya. Di negeri ini, orang suka
menggoreng-nggoreng apa pun, yang kadang tujuannya asal bikin ramai, asal bikin
gaduh, asal beda denga pemerintah. Menggoreng-nggoreng segala isu, untuk tujuan
negatif. Ada lagi yang nggoreng-nggoreng untuk tujuan politik.
Itu
berbahaya, Bung. Karena, kata Cicero (106-43) negarawan Romawi, politik itu
mahkluk yang paling hidup yang pernah ada di dunia ini; dengan beribu-ribu
otak, kaki, tangan, mata, pikiran, hasrat, nafsu, dan keinginan. Nah, kalau
politik itu seperti rumusah Cicero, maka akan sangat berbahaya kalau ketemu
minyak goreng, makin licin, sulit dipegang, di sana nggak ada hati nurani, tidak
ada cinta yang berpolitik, yang ada hanyalah kepentingan diri.
Begitulah,
Bung…..*** (Sup)
Posting Komentar