Oleh :
Semalam saya ngobrol dengan Cak
Kardi. Begitu saya biasa menyapa Sukardi Rinakit, sahabat saya yang baik hati.
Biasa, obrolan malam hari. Banyak hal yang kami obrolkan, mulai dari yang
ringan-ringan hingga yang berat-berat. Tentu, istilah berat itu menurut
definisi dan pengertian saya, yang kemungkinan bagi orang lain tidaklah berat.
Salah satu hal yang menarik kami
obrolkan adalah soal tanah dan air yang dibawa para gubernur seluruh Indonesia
ke IKN Nusantara. Lalu, seluruh tanah dan air dari 34 propinsi di Indonesia
dimasukkan ke dalam kendi Nusantara di Titik Nol Ibu Kota Negara (IKN)
Nusantara, Sepaku, Kalimantan Timur.
Kata Presiden Jokowi, saat itu, Senin (14/3/2022) lewat akun
YoutTube: “Pada hari ini kita hadir bersama-sama di sini dalam rangka sebuah
cita-cita besar dan pekerjaan besar yang akan kita segera mulai yaitu
pembangunan Ibu Kota Nusantara.”.
Baru kali ini para gubernur dikumpulkan untuk berkemah bareng, dan
menyerahkan air dan tanah dari daerahnya masing-masing. Pasti para gubernur
mengambil tanah dari tempat di daerahnya yang dianggap istimewa.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, misalnya, mengambil tanah
dari—yang menurut banyak orang, terutama orang Jawa—“pusatnya” Tanah Jawa, yang
oleh masyarakat Jawa disebut “pakuning tanah Jawa” yakni
Gunung Tidar di Magelang.
Sungguh sangat mengagumkan, di Sepaku sekarang terkumpul tanah dan
air dari Aceh Sampai Papua (dari Sabang sampai Merauke), dari Sulawesi Selatan
hingga Nusa Tenggara Timur (dari Miangas sampai Pulau Rote). Ini adalah lambang
bahwa IKN Nusantara adalah milik bersama, rakyat Indonesia dari Sabang sampai
Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Di Nusantara seluruh rakyat
disatukan, dalam sebuah tekad bersama untuk membangun bangsa dan negara ini
menuju masa depan yang cerah, adil makmur, gemah
ripah loh jinawi, tata titi lan tentrem kerta raharja, Baldatun toyibatun Warobun Gafur. Itu
doanya.
Dalam bahasa lebih heroiknya: penyatuan tanah dan air dari seluruh
wilayah Nusantara ini mengandung makna nasionalisme yakni cinta terhadap nusa
dan bangsa.
Mungkin ada yang komentar, “Ah itu klenik.”
Boleh-boleh saja
berkomentar seperti itu. Ini negara demokrasi yang menjamin kebebasan
berpendapat, kebebasan mengemukakan pendapat (walaupun tetap ada
batas-batasnya. Bukankah kebebasan dalam demokrasi bukannya tidak terbatas?).
Biasa ada
komentar seperti itu. Apa sih di negeri ini, yang tidak dikomentari walau
sebenarnya tidak ada yang salah sama sekali. Tidak salah karenanya
kalau nyinyir diartikan
sebagai ungkapan kebencian atas sikap orang lain yang tidak sepikiran. Entah
itu tidak sepikiran dalam politik, agama, ideologi, adat istiadat, budaya, dan
sabagainya.
Orang juga
mengatakan, nyinyir sebenarnya
merupakan cerminan ketidakmampuan si pelaku nyinyir untuk
melakukan hal sama (dalam hal-hal baik) seperti yang dilakukan orang lain,
obyek nyinyiran.
Dengan kata lain, nyinyir adalah ungakapan iri hati. Ungkapan iri
hati diungkapkan lewat mulutnya sendiri atau meminjam mulut orang lain; dengan
jarinya sendiri atau jarinya orang lain.
Sebenarnyalah,
upacara menyatukan tanah dan air dari 34 propinsi di negeri ini tidak ada yang
aneh. Secara sederhana, tanah dan air itu merupakan ungkapan perwujudan Ibu
Pertiwi. Ini secara simbolis mengungkapkan persatuan dan kesatuan seluruh
bangsa.
Kata Cak Kardi,
penyatuan tanah dan air yang dibawa para gubernur pada dasarnya adalah simbol
sumber kehidupan bersama. Simbol persatuan seluruh suku, adat, budaya, dan juga
agama yang hidup di Indonesia. Simbol kedekatan hati kita sebagai
manusia-manusia Indonesia, yang sekarang ini ada yang merasakan “meski dekat
tetapi terasa jauh.”.
“Cak, penyatuan
tanah dan air itu kan juga menjadi memori kolektif anak bangsa bahwa kita ini
punya tanah air, tanah kita sendiri, yang selama ini menghidupi kita semua.
Bukankah begitu, Cak?”
“Betul sekali, Mas,” komentar Cak Kardi.
Penyatuan tanah dan air dari seluruh
Indonesia, sebenarnya, juga mengingatkan—sekaligus untuk
menyadarkan—orang-orang yang selama ini berteriak-teriak lantang bahwa tanah
airnya adalah Indonesia.
Tetapi,
mereka meneriakkan juga (bahkan lebih lantang dengan menggunakan toa) bahwa
ideologinya dari tanah seberang. Padahal, ideologi negara ini—Pancasila—seperti
dikatakan Bung Karno adalah mutiara yang digali dari Bumi Pertiwi Indonesia.
Kata Bung Karno: “Kenapa diucapkan terima
kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan,
bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila
daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara
yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia. Malah
pernah saya katakan, bahwa sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian
daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya…
Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar memohon kepada
Allah Subhanahu Wata’ala,
diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wata’ala (Yudi
Latif, 2011: 20-21).
Karena itu,
prosesi penyatuan tanah dan air dari seluruh Indonesia ke dalam kendi Nusantara
di Titik Nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Sepaku, Kalimantan Timur adalah
sebuah momen yang mengingatkan kita semua bahwa ideologi kita digali dari tanah
air Indonesia, bukan dari tanah seberang!
Kepada Cak Kardi
saya katakan bahwa penyatuan tanah dan air dari seluru Indonesia itu
mengingatkan akan Sumpah Pemuda. Katakanlah semacam memperbaharui Sumpah Pemuda
yang diikrarkan para pemuda pada tahun 1928.
“Cak, kalau saya tidak salah, butir pertama
Sumpah Pemuda menyatakan: Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe Bertoempah
Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.”
“Betul sekali, Mas,” kata Cak Kardi.
Bukankah dengan
mengatakan itu, mengangkat sumpah seperti itu, para Bapak Bangsa kita pada
tahun 1928 saja sudah mengakui bahkan menyadari sepenuhnya bahwa esensi kebangsaan
itu adalah tanah air. Tanah air-lah yang sejak semula disadari bisa menjadi
bingkai perekat persatuan dan kesatuan Indonesia.
Tidak berlebihan
bukan, bahkan menurut hemat saya, sangat tepat kalau dikatakan bahwa sumpah
(Sumpah Pemuda) itu merupakan bentuk nasionalisme ke-Indonesiaan yang luar
biasa. Padahal itu tahun 1928. Selain itu, sumpah tersebut juga bagaikan
magnet, mengandung daya ikat yang sangat kuat dan patriotisme kebangsaan bagi
seluruh anak bangsa.
Karena itu,
harapannya penyatuan tanah dan air dari seluruh pelosok Indonesia yang dibawa
oleh para gubernur juga mengandung daya ikat dan patriotisme kebangsaan yang
tidak kalah kuat.
“Wah Mas, sampeyan mengingatkan saya
pada Pak Daoef Joesoef. Dia pernah mengatakan bahwa kita mempunyai tiga tanah
air,” kata Cak Kardi.
Pertama, tanah
air fisik. Yakni dari Sabang sampai Merauke; dari Miangas sampai Pulau Rote.
Tempat kita berduka. Tempat kita bersuka cita. Tempat kita hidup. Tempat kita
bermasyarakat. Tempat kita bekerja dan berkarya. Jadi tanah air fisik ini
adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan, tanah yang sehari-hari kita
diami secara fisik.
Kedua, tanah air
formal. Yang dimaksud dengan tanah air formal adalah negara bangsa, yang
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini negara dengan hukum formal. Ini
adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang selalu dikatakan “NKRI
harga mati.”
“Dan ketiga,
Mas,” kata Cak Kardi, “yakni tanah air mental yakni Pancasila seperti yang
dikatakan Bung Karno. Jadi, tanah air mental ini lebih bersifat imajinasi yang
dibentuk dan dibina oleh ideologi. Karena itu, tidak bersifat teritorial
seperti dalam pengertian tanah air formal atau tanah air riil; juga tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu.
Kata Daoef
Joesoef, aneh kalau seseorang mengakui Indonesia sebagai tanah air fisiknya dan
menyatakan diri sebagai warga negara Indonesia, tetapi tanah air mentalnya ada
di negara lain: entah itu Timur Tengah, entah itu Eropa, entah Asia Timur,
entah itu Pasifik. Banyak sekarang yang seperti itu.
Cak, tanah-air
itu kan ibarat rahim Ibu. Kalau tidak salah kata rahim memiliki kata dasar
yakni rahmah yang
berarti kasih sayang. Rahim adalah tempat yang agung. Di tempat yang penuh
kasih sayang itu calon manusia tumbuh dan berkembang. Dan, manusia adalah buah
kasih sayang.
Di tanah air inilah bangsa Indonesia lahir dan
bertumbuh, berkembang, dan berbuah yakni bukah kemakmuran.Dan, Cak, dari
tanah-lah manusia itu ada. Dan, ke tanah lagi serta menjadi tanah lagi,
nantinya kehidupannya berakhir.
Dari tanah kembali ke tanah. Seperti yang
tertulis Memento homo, quia pulvis eris
et in pulverem reverteris, Ingatlah manusia, bahwa kamu berasal
dari debu dan akan kembali ke debu….Ah, maaf Cak, kok saya ngomong nggladrah, nglantur ke mana-mana, padahal kita
ngobrol soal tanah-air.
“Cak, kok saya lalu ingat lagunya grup band
indie, Efek Rumah Kaca yang berjudul Seperti
Rahim Ibu: “Seandainya Negeriku; Serupa Rahim Ibu; Merawat
Kehidupan; Menguatkan yang Rapuh…..”.
Semoga, ibu kota
baru nantinya akan benar-benar seperti rahim Ibu yang menjadi awal mula
kehidupan, yang merawat kehidupan, yang menguatkan yang rapuh, yang menyatukan
yang renggang, yang memberi semangat pada yang lesu, yang memberikan
perlindungan, yang memberikan kedamaian, dan yang memberikan kasih sayang, serta
yang memberi semangat untuk mewujudkan mimpi-mimpi kebesaran bangsa dan negara
ini……*(Sup)
Posting Komentar