Oleh : Trias Kuncahyono
Ilustrasi foto angkringan
(Istimewa)
Malam kemarin,
saya kirim WA ke Mayong, sahabat sejak puluhan tahun lalu. Sebenarnya,
kakaknyalah yang teman SMP saya di SMP Pangudi Luhur, Yogya.
“Den, sampeyan masih ingat enggak
nama penjual angkringan di perempatan Wirobrajan,” tulis saya di WA. Saya
selalu panggil dia Den,
nggak tahu kenapa. Dia panggil saya Kang.
“Pak Wongso,”
jawabnya singkat. Lalu dilanjutkan, “Cothote
enak, werno abang. Nek ngejogi wedang karo turu, sok luput seka gelase.”
Betul, sambil
nungguin dagangannya, mata Pak Wongso selalu terpejam, terkantuk-kantuk apalagi
kalau malam. Maka, ketika ada pelanggan yang minta nambah teh, dengan mata
tetap tertutup, Pak Wongso ngangkat teko blirik yang bagian dalamnya sudah
coklat kehitaman lalu menuangkan ke gelas. Dan, kerap kali meleset…air tidak
masuk gelas.
“Eeeee, Pak
meleset…,” teriak pelanggan lalu tertawa, pelanggan lain pun ikut tertawa. Pak
Wongso masih dengan mata terpejam menjawab pelan seperti bergumam, “Enggih, to….”
Dia tidak
melihat sama sekali pelanggannya ngambil dan makan apa, berapa. Dia percaya
saja pada kejujuran para pelanggannya. Walau ada yang makan tiga tempe goreng,
ngaku makan dua. Tetapi, pada umumnya, para pelanggannya juga jujur.
Kejujuran
itulah yang menjadi modal utama Pak Wongso dalam bisnis angkringan.
Kejujuran merupakan cerminan karakter. Karakter Pak Wongso, yang ketika
itu, awal tahun 70’an, berusia 60 tahunan. Kejujuran Pak Wongso mempengaruhi
para pelanggannya. Para pelanggan malu diri kalau berbohong, kalau “nggabrul”, makan tiga tempe
goreng tapi hanya ngaku dua, misalnya.
Kata orang bijak “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya.” Maka ada musang berbulu domba.
Tetapi, mengapa sekarang ada yang mengatakan bahkan percaya bahwa orang jujur
akan hancur. Apalagi, dalam pekerjaan sekarang ini banyak karyawan yang
mengorbankan nilai-nilai kejujuran dalam hidupnya karena tuntutan ekonomi.
Katanya.
Orang yang
waras akan mengatakan, ”Ah, itu alasan yang dicari-cari. Tidak jujur, ya tidak
jujur. Itu karakter, bawaan orok.”
Itulah sebabnya,
orang mengatakan bahwa saat ini susah mencari orang jujur. Ditangkapnya begitu
banyak orang karena korupsi, menjadi buktinya. Korupsi adalah wujud tindakan
tidak jujur, meski ada yang bangga bisa korupsi. Dunia ini—eh atau masyarakat
kita—memang aneh: wong korupsi
kok bangga.
Pada
hakikatnya, sikap jujur adalah sikap yang apa adanya, tanpa adanya
kepentingan-kepentingan tertentu. Nah, ini yang juga sulit: bersikap apa
adanya; bukan pulasan.
Bersikap apa
adanya itu sulit—bahkan sangat sulit—apalagi di dunia politik sekarang ini.
Sebab, politik itu soal citra. Rakyat melihat apa adanya, tetapi tidak melihat
kebenarannya. Itulah yang terjadi dalam politik citra, politik gincu.
Strategi
pencitraan dilakukan melalui banyak cara antara lain iklan politik, baliho,
poster, spanduk, dan juga blusukan banyak kita saksikan. Bila sukses membangun
pencitraan akan mendongkrak keuntungan politik.
Citra politik
yang terbentuk di benak publik, tidak selamanya sesuai dengan realitas yang
sebenarnya. Sebab, mungkin citra itu hanya sama dengan realitas media
atau realitas buatan media, yang disebut juga sebagai realitas tangan kedua (second hand reality).
Dalam politik
citra, tentu tidak ada kejujuran. Semua pulasan. Kejujuran itu telah digadaikan
untuk kepentingan politik; politik kekuasaan.
Padahal,
kejujuran itu pula yang membuat suasana di angkringan terasa hangat. Karena di
sana, semua orang terbuka. Mereka ngobrol apa adanya, ngalor-ngidul, membicarakan
apa pun mulai dari yang ringan-ringan, soal minyak goreng, soal cari kerja atau
cari kontrakan, soal kaum seleb yang kawin cerai, pamer jumlah tabungan hingga
soal politik, termasuk ngomongin para pejabat, soal penyatuan tanah dan air
dari seluruh propinsi termasuk reaksinya yang macam-macam dan lebih berbau
politik serta tak paham tradisi dan budaya.
Tak bisa
dielakkan, kadang ngobrol yang agak-agak saru, porno, plesetan, gojek kere (istilah di Yogya
mungkin juga di Solo, yakni gojek,
guyon yang nggak mutu), dan tertawa lepas. Tertawa itu
menyehatkan, menaikkan imun. Begitu kredonya sekarang ini.
Yang
menyenangkan, tidak ada yang tersinggung dengan gojekan atau omongan orang
lain. Semua ditanggapi dengan tertawa. Untuk tidak tersinggung dibutuhkan
kerendahan hati, rendah hati, tawadhu’.
Di angkringan,
semua orang sama derajatnya. Mau tukang becak, tukang ojek, mahasiswa,
pegawai kantoran, pegawai bank, dokter, tentara, polisi, hakim, jaksa,
budayawan, ulama, tokoh masyarakat, atau siapa pun tidak ada yang
diistimewakan. Hak dan kewajibannya sama; seperti one man one vote, dalam pemilu.
Suasana seperti
itulah yang membuat orang rindu nongkrong di angkringan. Seperti di kafe-kafe
di kota-kota Timur Tengah. Kata sejarawan Mark Pendergrast, revolusi Perancis
(1789) dan Amerika direncanakan di kafe. Tetapi, di sini tak perlu meniru
mereka. Dulu ceritanya, di kafe di Paris tokoh-tokoh seperti Marat,
Robespierre, Danton, Hébert, Napoleon, dan Desmoulins ngobrol. Di kafe-lah muncul
pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan brilian.
Di angkringan
orang bisa bebas ngobrol sambil makan makanan rakyat. Bisa milih: ada tempe
goreng, tahu goreng, mendoan, bahwan, pisang goreng, ketela goreng, dan tahu
isi.
Ada juga sego
kucing, sego bandeng, indomi rebus, sate kere, sate telur puyuh, sate keong,
sate jeroan, juga kerupuk dan karak. Mau minum? Ada teh nasgitel (panas legi dan
kentel), teh pahit, kopi biasa, kopi joss, kopi susu, wedang jahe, susu jahe,
wedang uwuh, tinggal pilih. Semua murah, harganya berkisar antara Rp 500 sampai
Rp 5.000.
Suasana sangat
khas. Bisa dikatakan suasana di angkringan tak tergantikan oleh kafe-kafe yang
mahal, yang berpendingin udara. Maka orang selalu rindu untuk datang kembali
“ngangkring” walau sekadar untuk minum teh atau kopi atau jahe, seharga Rp
5.000.
Tidak
berlebihan kalau dikatakan angkringan tidak hanya sekadar tempat
mengisi perut secara murah. Tetapi, angkringan adalah tempat sosialisasi
antar-warga. Angkringan adalah simbol egaliter antar-warga masyarakat,
antar-manusia.
Filosofi
angkringan itu sangat penting di zaman sekarang ini yang serba terkotak-kotak
baik secara suku, ras, agama, bahkan politik. Pengkotak-kotakan ini yang
menimbulkan konflik dan perpecahan. Dan edannya lagi, ada yang “sengaja” mengkotak-kotakkan.
Kita masih
ingat bagaimana masyarakat Jakarta terpecah pada Pilkada 2017. Kepentingan
politik dan nafsu akan kekuasaan yang menjadi penyebabnya. Hal yang sama—bahkan
lebih dahsyat—terjadi saat Pemilu 2019.
Bukan mustahil,
pada Pemilu 2024 hal yang sama akan berulang. Selama politik hanya diartikan
sebagai cara untuk merebut kekuasaan bukan mengabdi pada bangsa dan negara
untuk mewujudkan sebuah bonum
commune, kemaslahatan bersama, maka menghalalkan segala cara akan
dilakukan. Termasuk mengkotak-kotak dan memecah belah bangsa. Tanda-tanda ke
arah itu sudah terlihat.
Semestinya,
seperti di angkringan, kita semua harus menerima keanekaragaman dan memunculkan
sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan apa pun yang ada di negeri ini.
Tetapi, sekarang ini selalu ada yang sengaja menonjol-menonjolkan,
meneriak-neriakan perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, bukan
kesamaannya. Yang berbeda dianggap musuh dan harus dimusuhi. Mereka selalu
“ber-kami” bukan “ber-kita.”
Mereka itu lupa
atau sengaja melupakan bahwa bangsa ini majemuk sejak semula. Itu suatu hal
yang tidak dapat dipungkiri, tidak dapat dihilangkan. Kalau dipungkiri dan
dihilangkan, hilang pula negeri yang namanya Indonesia.
Karena itu,
semoga tidak ada yang ingin menghilangkan Indonesia yang majemuk, yang
plural, yang multikultural, yang bhinneka, yang menghormati kesetaraan, yang
mengutamakan persatuan dan persaudaraan, yang saling toleran, dan saling
menghormati, dan yang bersatu.
Maka,
sekali-kali, nongkronglah di angkringan Pak Wongso atau penerusnya atau
angkringan manapun—yang di Solo dikenal dengan nama HIK yakni hidangan istimewa
kampung—milik siapapun untuk merasakan keindonesiaan kita, kemajemukan,
keegaliteran bangsa ini.
Semoga masih
ada.*** (Sup)
Posting Komentar