Tergolong Kumuh, Desa Demaan Butuh Rusunawa ?

Rumah Warga  Tepi Sungai Gelis

Kudus,Berita Moeria (Bemoe)    
Dilatar-belakangi dengan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus (DKK) (akhir Maret 2017) menyebutkan masih ada sekitar 6.000 kepala keluarga (KK) di Kabupaten Kudus yang belum memiliki jamban keluarga.
Apalagi  dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Yaitu  dalam kurun waktu 2015 – 2019 seluruh rakyat Indonesia diharapkan memiliki akses layanan dasar air bersih, air minum dan sanitasi yang aman  dan layak.
Lalu muncul  undang undang nomor 18 tahun 2016 tentang APBN 2017 yang didalamnya memuat rencana kerja pemerintah (RKP) dan komponen penganggaran untuk mencapai tujuan nasional. Maka perlu sinergitas pelaksanaan kegiatan dengan berbagai sumber pembiayaan yang ada di pusat dan daerah.

Menjala Ikan Di Sungai Gelis

Kementerian Kesehatan telah mengalokasikan pendanaan pencapaian Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang berfokus pada aspek  perilaku masyarakat melalui dana alokasi khusus (DAK) non phisik dalam bentuk bantuan operasional kesehatan.
Desa Demaan tergolong salah satu desa yang tergolong kumuh dan semula dikenal sebagai lumbung (maaf) pengemis, gelandangan, pengamen, penjudi dan sebagainya yang “berbau”negatif lainnya.
Dari  6.747 jiwa penduduk Desa Demaan ini, sekitar 450 kepala keluarga berprofesi seperti disebutkan di atas. Mereka menempati tanah negara ( milik Dinas sosial provinsi Jawa Tengah) seluas hampir 8.000 meter persegi.  Tanah ini secara administrasi berada di wilayah Desa Singocandi Kecamatan Kota Kudus. Namun  yang menempati tercatat sebagai penduduk Desa Demaan Keberadaan mereka dalam hal menempati rumah hingga profesinya selama ini masih serba abu-abu.

Salah Satu  Sudut Desa Demaan  Kota Kudus

Pemerintah Kabupaten Kudus sebenarnya sudah merelokasi mereka ke Desa Hadipolo Kecamatan Jekulo, sekitar 10 kilometer timur kota Kudus.Namun sebagian besar diantara mereka kembali ke Demaan, pulang kembali ke pondok boro (menurut istilah mereka). Sebab. Sumber penghasilan mereka berada di seputar komplek makam Sunan Kudus dan Masjid Menara, atau sepanjang Jalan Sunan Kudus.
Mereka rata-rata dalam sehari paling rendah memperoleh uang tunai Rp 100.000 – Rp 150.000.( sebelum pandemi Covid-19)  Beberapa diantara mereka malah memiliki mobil kelas menengah seharga lebih dari Rp 100 juta yang dibeli secara mengangsur.
Namun keberadaan 450 KK tersebut menjadikan lingkungan lumayan  kumuh. Rumah mereka tergolong tidak sehat,  karena sebagian besar tidak memiliki jamban sendiri. Fentilasi rumah nyaris tidak ada, jemuran pakaian semrawut, banyak berserakan sampah- baik sampah rumah tangga yang hanya dibuang ke Kali Gelis yang letaknya hanya beberapa meter dari rumha mereka. Lalu tumpukan sampah- rongsokan  yang memang dijadikan salah satu sumber penghasilan .
Hingga tahun 2014,  luas kawasan pemukiman kumuh di Indonesia tercatat : 38.431 hektar yang menjadi target penanganan Kementerian Pekerjaan Umum Perencanaan Ruang (PUPR) sampai dengan 2019.
Di Jawa tengah , penataan kawasan bantaran  Sungai Kalipepe kota Surakarta juga telah dilakukan  kementerian PUPR tahun lalu.Sungai Kalipepe membentang  dari Gilingan – Bendung karet Tirtonadi- Balapan- Pasar Legi – Pasar Gede- Demangan melintasi beberapa kawasan  pemukiman kumuh.
Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI) Kabupaten Kudus pada tahun 2017 sebenarnya telah bekerjasama dengan DKK, PUPR, Dinas Sosial, Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Lingkungan Hidup,  sepakat untuk “merubah” wajah kumuh yang ada di Desa Deman.
Antara lain dengan { akan) membangun rumah susun sederhana sewa  (rusunawa), ruang terbuka hijau (RTH) dan program kali bersih (prokasih) dengan mengadopsi karya Romo Mangun- seperti penataan Kali Code yang melintas di Kota Jogja. Namun karena kerjasama tersebut tidak terdokumentasi secara baik- terutama dari pihak pemerintahan nampaknya sudah melupakan dan samasekali tidak membicarakan hal itu lagi.(sup)

            

Komentar

Lebih baru Lebih lama