Sejenak di Sungai Gelis Desa Demaan, Mengingat Pondok Sosial Yang Tetap Kumuh


Bocah Sedang Bermain Sampah di Sungai Gelis

Kudus, Berita Moeria (Bemoe)

Saat Pemkab Kudus- dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) tengah asyik menyiapkan program pembangunan City Walk di Jalan Sunan Kudus senilai Rp 16,3 miliar.. Sedang tiga  bocah bermain sampah di tengah Sungai Gelis. Seorang pria juga tengah menebarkan sebuah jala. Di sisi timur sungai nampak sebagian perkampungan kumuh.
Itu terekam saat Bemoe “kluyuran” sepanjang Kamis siang (6/8/2020). Betapa kontrasnya jika City Walk (kota ramah terhadap pejalan kaki) sudah terwujud, dengan kondisi di seputarnya yang masih satu wilayah, yaitu di Desa Demaan Kecamatan Kota Kudus. Masih “ satu atap” pula dengan komplek pendopo kabupaten.
Tiga bocah yang bermain di sungai gelis tersebut menunjukkan sungai yang melintas di tengah Kota Kretek ini ternyata masih saja dijadikan tempat pembuangan aneka jenis sampah. Sampah rumah tangga, sampah industri maupun “sampah” dari perut manusi
Sedangkan seorang pria yang tengah menebarkan jala dan sempat beberapa kali diayunkan dan ditarik ke atas, tapi tidak ada satu ekor pun ikan yang terjaring. Memang tidak ada ikannya. Atau ikannya yang pintar menghindar.
Lalu sejak dari jembatan  sungai Gelis di Jalan Sunan Kudus kea rah utara, hingga jembatan seputar komplek sekolahan Taman Siswa sisi timur, nyaris tidak ada tanggulnya.
Sebagian tanggulnya dimanfaatkan untuk taman yang masih nampak terawatt. Sebagian lagi malah berubah fungsi untuk kandang ternak, “kandang” mobil. Hanya beberapa meter yang utuh, dengan lebar sekitar tiga meter.  Sebagian lagi tepi sungai dibangun “dinding” beton (sejak dari taman memanjang beberapa meter kea rah utara).
Di tepi sungai yang airnya nampak tercampur dengan air limbah ini, terdapat bekas pondok social. Belum diketahui secara pasti kapan pondok sosial Demaan itu didirikan. Namun yang pasti pada tahun anggaran  1994/1995, sebanyak 98 kepala keluarga  (KK) warga pondok sosial  ini dipindahkan ke  Desa Hadipolo (sebagian besar) dan Desa Tanjungrejo Kecamatan Jekulo.
Mereka menempati rumah sangat sederhana (RSS)  dengan ukuran rumah 4x 4 meter. Tembok rumah belum diplester ( abangan), kerangka kayu kalimantan, genting pres, lantai tanah dan luas tanahnya 7x 9 meter. Dilengkapi dengan dua unit mandi cuci kakus (MCK) . Masing-masing unit  terdiri 4 kamar mandi dan kakus (WC) ditambah sumur air dalam. Setiap KK  diharuskan membayar cicilan Rp 600/hari selama 15 tahun, atau totalnya mencapai Rp 3.285.000 dan setelah lunas menjadi hak milik  warga pondok sosial .
Dengan demikian,  98 KK tersebut pada  periode 2010/2011 sudah memiliki rumah sendiri. Dengan catatan jika masing-masing KK selalu mengangsur setiap hari atau tepat waktu. Catatan lain, setelah Departemen Sosial dibubarkan, apakah dengan sendirinya program pondok sosial juga bubar dengan sendirinya. Termasuk angsuran rumah ke Pemkab Kudus juga belum diketahui di kemanakan
Selain itu  pondok sosial Demaan itu sendiri sampai sekarang  masih tetap ada dan termasuk penghuninya. Secara adminsitrasi warga pondok sosial ini tercatat sebagai penduduk Desa Demaan
Namun tanah komplek pondok sosial  tersebut secara administrasi berada di wilayah Desa  Singocandi Kecamatan Kota Kudus. Sedang status tanahnya  adalah milik Departemen Sosial cq Kantor Sosial Kabupaten Kudus.  Tanah itu terbagi menjadi dua sertifikat tanah, Sertifikat pertama dikenal sebagai  barak sosial utara, namun  berdasarkan foto copy yang diterima Bemoe  kurang jelas, maka tidak diketahui berapa luasannya. Dalam lembar pertama  masih nampak jelas  nomor registernya yaitu : 3520655.Sedang sertifikat tanah ke dua ( barak sosial selatan) luasnya  mencapai 1596 meter persegi
Lalu berdasarkan keterangan Kantor Desa  Demaan,  luas  tanah milik Departemen Sosial tersebut diperkirakan mencapai  lebih dari 7.000 meter persegi  dan dihuni  sekitar 450 KK. (sup)

Komentar

Lebih baru Lebih lama