Noni dan Sinyo sekolah di SMP I Kudus, Salah Satu Cagar Budaya Yang Masih Berfungsi

            Kudus, Berita Moeria (Bemoe)

Sekolah Menengah Pertama  Negeri  I ( SMP 1) di Jalan Sunan Muria Kudus semula namanya Budi Siswa. Didirikan semasa pemerintahan Belanda dan menjadi sekolahnya sinyo, noni dan anak akan etnis Tionghowa. Sinyo bahasa Belanda yang artinya anak laki laki belum kawin. Noni anak perempuan


            Lalu ketika Belanda meninggalkan Indonesia, sekolah itu diberi nama Budi Sisa. Kemudian diganti lagi menjadi SMP Negeri I pada tahun 1951. “Persis tahun pembuatan nya tidak tahu   Kami mengutip penjelasan dari Noor Yasin, yang pernah menjabat sebagai Kepala SMP I. Beliau juga dikenal sebagai Sekda Pemkab Kudus,” tutur mantan kepala seksi sejarah museum kepurbakalaan (Rahmuskala) Dinas Kebudayaan Pariwisata (Budpar) Kudus, Sancaka Dwi Supani.

           

Meski umur bangunan sudah lebih dari 70 tahun, tetapi masih masih nampak masih kokoh berdiri. Gedung SMP I telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya (BCB) tak bergerak versi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Tengah dengan nomor urut 26, nomor inventarisasi  11-19 /Kud/ 26/ TB/04 yang ditanda-tangani kepala BP3 Jateng Endjat Djaenuderadjat  September 2005. Dengan jenis BCB, periode kolonial.

            Menempati lahan  seluas 5.700 meter persegi. Bangunan utamanya terdiri 9 lokal yang digunakan tempat belajar siswa kelas 9 B- 9 H, ditambah kelas 8 E. Bangunan ini membujur barat-timur menghadap ke utara. Lalu satu bangunan lagi berupa semacam aula yang saat ini dimanfaatkan sebagai gedung serba guna.


            Ciri utama gedung SMPI  tersebut adalah ukuran jendela dan pintunya cukup lebar dan tinggi. Kerangka bangunan seluruhnya dari bahan baku kayu jati kelas satu, sehingga sebagian besar masih dalam kondisi utuh.


            Bahkan khusus untuk gedung serba guna, di bagian dalamnya kerangkanya lebih menonjol. Bangunan ini berada di samping kanan depan  bangunan utamanya. Lalu untuk masing masing lokal yang ditempati para siswa, plafonnya juga terbuat dari kayu jati


            Menurut Kepala SMP I, Ahadi Setiawan yang didampingi Hasan ( guru , merangkap bagian Humas), pihaknya memang berusaha ikut merawat sekaligus melestarikan cagar budaya tersebut. Meski tidak secara langsung. “Dengan tetap memfungsikan gedung tersebut sebagai ruang kelas dan ruang serba guna , maka nyaris terjaga kebersihannya. Kami samasekali tidak berani untuk mengotak-atik  apalagi merubah bentuk. Meski demikian kami masih tetap terbuka untuk dikritisi dan menerima saran-masukan positif dari semua pihak. Khususnya dari Dinas Budpar , BP 3( sekarang berubah menjadi BPCB) , pemerhati CB dan sebagainya,”  ujarnya.


            Sayangnya,  ketika membangun kantor dan  gedung gedung baru , gedung dengan status cagar budaya ini justru dikilung,  sehingga tidak terlihat bangunan cagar budayanya. Terutama dari depan. Bentuk bangunannya serba modern, berpendingin ruangan (AC) . Termasuk  bangunan cagar budayanya juga terpasang AC.

           

Pengoperasian AC di  sembilan local/kelas dan satu ruang serba guna membutuhkan biaya operasional cukup tinggi. Padahal desain gedung utama berupa pintu dan jendela dengan ukuran besar, dikandung maksud agar sirkulasi udara maupun sinar matahari (utamanya) terjaga dengan baik. “ Penyebabnya,  “penghuni” di gedung cagar budaya meri ,  karena ruang/kelas lain ber AC. Juga untuk mengurangi polusi udara dan tidak terganggu bisingnya lalulintas di depan sekolahan,” tambah Hasan.

            Selain itu, menurut pengamatan Berita Moeria, warna cat pintu, jendela dan langit-langitnya kurang serasi ( menyesuaikan diri sebagai cagar budaya). Akan lebih tept jika mendekati warna aslinya, mirip dengan warna kayu jati ( terang kecoklatan).


            Di halaman depan- gerbang sebaiknya dipasang foto/gambar dan denah gedung cagar budaya, yang bisa jadi menambah nama SMP I Kudus yang sejak dahulu dikenal sebagai sekolah favorit ini lebih mencuat lagi. Sebab mampu nguri-uri salah satu diantara 88 cagar budaya ( versi BP 3 Jateng) di Kudus yang sampai sekarang sebagian besar tergolong morat marit(sup)


Komentar

Lebih baru Lebih lama