Gulirkan Kontes Ternak Kerbau, Tidak Kenal Abang Abuh Anget


Demak, Berita Moeria (Bemoe)

Gulirkan kontes ternak kerbau tingkat local hingga nasional sebagai salah satu cara untuk mendongkrak ketertinggalan populasi ternak kerbau dengan ternak sapi. Sediakan pejantan untuk perbaikan genetik dan pencegahan pemotongan indukan produktif.
Hal itu disarankan Khulusun Huda, alumnus fakultas peternakan Universitas Diponegoro,  pemilik peternakan Kebo Giras Desa Kenduren Kecamatan Wedung Kabupaten Demak,  yang ditemui Bemoe Senin (27/7/2020). “ Kontes tersebut untuk menyemangati peternak untuk lebih giat lagi dalam memelihara ternaknya (kerbau). Selain itu juga tidak kalah pentingnya untuk memberikan pakan tambahan (konsentrat). Sebab selama ini sebagian besar peternak  hanya memberikan rumput saja. Akibatnya susah untuk meningkatkan berat badan ( menambah gemuk)” tuturnya.
Kebo Giras saat ini memiliki 35 ekor kerbau dan 40 ekor kambing (domba). Pembuatan kandang sudah diatur sesuai standar peternakan. Begitu pula pemberian konsentrat, sehingga pertumbuhan maupun kesehatan ternak selalu terkontrol dengan baik. “Kami mampu menjual kerbau rata-rata lima ekor per bulan. Bila ada hari raya tertentu permintaan selalu melonjak.Selain itu kami juga mentrapkan slogan “sehati dan sesuai syariat  hasil dari usaha ini 25 persennya untuk zakat,” tambah Huda.
Menurut pria, tiga anak ini, populasi ternak kerbau tingkat lokal maupun nasional memang kalah dan semakin jauh tertinggal dengan populasi ternak sapi. Peternakan kerbau masih terbatas. Di Provinsi Jawa Tengah populasi ternak kerbau terbanyak berada di Kabupaten Kudus, Demak, Tegal, sebagian Kendal , Grobogan dan Jepara.

Kesenjangan dalam populasi tersebut juga disebabkan, kerbau betina tidak mudah dideteksi saat tengah berahi. Itu berbeda dengan ternak lain-utamanya sapi. Saat kemaluan sang betina “abang “ (berwarna merah), abuh (membengkak) dan anget (hangat). “Saat itulah saat yang tepat kerbau jantan untuk “menyetubuhi”. Atau cukup dengan model kawin suntik. Masa bunting kerbau pun hanya setahun sekali.”

Revolusi peternakan

Menurut Pancar Simatupang dan Prayoga Hadi dari pusat
Penelitian dan Pengembangan 5osial Ekonomi Pertanian, Bogor : Pada dasawarsa 1990-an mulai terjadi revolusi peternakan dan diperkirakan akan terus berlangsung dalam 20 tahun ke depan.
Berbeda dengan revolusi hijau yang mesin penggerak utamanya adalah inovasi teknologi pada sisi produksi, yaitu penemuan varietas unggul berumur pendek ; maka penggerak utama revolusi peternakan adalah peningkatan pada sisi permintaan. Permintaan akan produk peternakan di pasar domestik diperkirakan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan pertumbuhan jumlah penduduk.
Diproyeksikan, Indonesia pada tahun 2020 masih akan mengalami defisit produksi daging sekitar 2,7 juta ton. Defisit ini merupakan peluang pasar domestik yang sangat besar untuk dimanfaatkan.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif untuk mengembangkan sistem petemakan berbasis pakan rumput (grass-fed livestockfarming), seperti sapi potong, kerbau, kambing dan domba, sehingga daya saing usaha peternakan di Indonesia terletak pada sistem peternakan berbasis pakan asal biji-bijian (grainfed livestockfarming), yaitu ayam ras pedaging dan petelur.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan usaha sekaligus meningkatkan daya saing peternakan di Indonesia, dengan mempertimbangkan keragaman biofisik wilayah dan potensi sosial ekonomi (termasuk pasar domestik yang sangat besar), diperlukan pengembangan teknologi spesifik lokasi usaha peternakan intensif (grainfed) yang berorientasi pada permintaan pasar domestik; sekaligus memfasilitasi juga usaha peternakan berbasis pakan rumput agar tidak punah(sup)


Komentar

Lebih baru Lebih lama