pangkalan ojek wisata Colo |
Kudus, Berita Moeria
(BeMo)
Diduga saat ini tengah “tarik ulur” antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar)
Kabupaten Kudus dengan pemerintahan desa (Pemdes) Colo Kecamatan Dawe. Yaitu
tentang besaran sewa lahan yang saat ini dijadikan terminal wisata dan gerbang
wisata. Dinas Budpar cenderung bertahan pada sewa lama Rp 60 juta per tahun.
Sebaliknya Pemdes Colo naik hingga sekitar Rp 100 juta.
Sewa itu diawali dari penyerahan pengelolaan terminal
wisata Colo yang semula ditangani Dinas Perdagangan kepada Dinas Budpar. Dinas Perdagangan membangun terminal tersebut
dengan anggaran cukup besar yaitu sekitar Rp 21,3 miliar. Namun ditengarai
banyak masalah dan kondisi mangkrak setelah selesai dibangun tahun 2018.
Sedang Dinas Budpar
yang diserahi untuk mengelolanya dengan salah satu syarat membayar sewa
kepada Pemdes Colo Rp 60 juta setahun ( 2018) juga mesti berhitung ulang. Meski
bangunannya cukup megah dan dilengkapi dengan sarana prasarana, namun
kenyataannya komplek bangunan terminal wisata Colo berlantai tiga ini tidak
diminati pedagang kaki lima maupun sejumlah pengemudi bus antar kota antar
provinsi.
Pihak Pemdes pun berhitung pula. Jika terminal
dan gerbang wisata colo ditangani sendiri ( tentu saja dengan lebih
profesional) maka selain memperoleh
sumber penghasilan, juga sekaligus kesempatan untuk membuka lowongan kerja bagi
warga setempat.
Menurut berbagai informasi yang dikumpulkan Bemo sepanjang
Minggu (28/6/2020), Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kabupaten Kudus tertarik
untuk ikut mengelola terminal wisata. Khususnya untuk lantai tiga, yang akan
dimanfaatkan anggota Kadin yang bergerak di bidang pemrosesan kopi . Kadin
sudah mengajukan usulan/permohonan tertulis kepada Pelaksana tugas/Plt Bupati
Kudus Hartopo. Meski sampai sekarang belum ada jawabanya.
Cenderung ditangani Desa
Salah satu tokoh Desa Colo, Ridho dalam perbincangannya dengan Bemo
sambil minum “kopi muria” di salah satu warung lantai satu terminal Colo,
banyak tokoh masyarakat setempat yang menghendaki terminal dan gerbang Colo
ditangani sendiri Pemdes, Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang tengah
dirintis.
Menurut dia, langkah yang ditempuh Dinas Budpar Kudus
akhir akhir ini terbukti hanya untuk kepentingan oknum dinas dan sejumlah
kroninya. Akibatnya sebagian warga Colo
terpecah. Sebagian mendukung langkah oknum Dinas Budpar, sebagian besar lainnya
menghendaki pengelolaan ditangani desa/warga sendiri.
Bahkan pihak Pemdes sudah merencanakan untuk melepas
salah satu “bengkok” desa yang berada persis di samping kanan terminal untuk
lokasi pembangunan terminal wisata yang mampu menampung lebih dari 100 bus
antar kota antar provinsi. Jika ada investor yang berminat pihak Pemdes akan
memfasilitasi.
Asisten bidang ekonomi Pemkab Kudus, Ali Rifai yang
ditemui terpisah sepakat jika terminal wisata
tersebut mangkrak dan perlu ditata ulang. Desain terminal menjadi salah
satu kelemahan utama yang menimbulkan mangkraknya terminal senilai Rp 21,3
miliar. “Memang sudah ada beberapa usulan yang masuk ke Pemkab Kudus, Kami akan
kaji dan ditindak lanjuti. Jika ada wacana relokasi terminal dan itu akan jauh
lebih baik, kami akan dukung sepenuhnya,” tegasnya.
Desainnya dipertanyakan?
Berdasarkan pengamatan Bemo, desain bangunan terminal berlantai tiga
ini memunculkan banyak pertanyaan. Lantai satu khusus untuk parkir bus antar
kota antar provinsi terlalu sempit. Akibat terlalu banyak tiang yang berada di
sisi kanan maupun di sisi kiri.
Di sudut lokasi parkir terdapat dua tangga menuju lantai
dua. Satu tangga berjalan secara elektronik dan satunya lagi tangga biasa.
Tangga ini dimaksudkan agar semua /sebagian besar penumpang bus/kendaraan begitu
turun langsung naik ke lantai dua atau tiga untuk berbelanja. Kenyataannya
pengunjung memilih langsung keluar dari lantai satu (parkir) ke pangkalan ojek
yang hanya melangkah kurang dari 100 meter. Kemudian menuju ke lokasi yang
dituju- seperti tempat wisata alam dan
wisata ziarah makam dan masjid Sunan Muria.
Di lantai tiga, pintu gerbangnya berada persis sejajar
dengan jalan kedua setelah jalan raya. Jika mereka berkendaraan dan turun di
depan gerbang lantai tiga pasti menimbulkan kepadatan lalulintas dan orang.
Bukan tempat untuk menurunkan dan menaikkan orang.
Desain di lantai satu dan dua yang mampu menampung
sekitar 200 PKL seperti pasar tradsional, sehingga tidak menarik. Apalagi belum/tidak ada produk unggulan atak khas
daerah setempat/kudus pada umumnya yang lebih mendominasi agar pengunjung
tertarik.
Posting Komentar