Kudus, Berita Moeria(BeMo)
Jalan Berliku Menanti Pengakuan
Dibutuhkan, tetapi tidak pernah diakui keberadaannya. Begitulah nasib pekerja rumah tangga.Meskipun peran mereka berkontribusi besar bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan rumah tangga, keberadaannya sebagai pekerja perawatan hanya dipandang sebelah mata. Hingga kini statusnya sebagai pekerja belum mendapat pengakuan negara.
Pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu pekerjaan tertua dan terbesar jumlahnya di dunia dan di Indonesia. Di dunia jumlahnya mencapai 87 juta jiwa dan di Indonesia lebih dari 4 juta orang. Di Indonesia, mayoritas PRT adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Sekitar 30 persen di antaranya adalah anak perempuan.
Kendati pekerjaan mereka memenuhi sejumlah unsur pekerja, yakni mendapat upah,ada perintah, ada pekerjaan,dan pemberi kuasa; secara formal statusnya tak pernah diakui. Akibatnya, PRT tidak pernah menikmati hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya. Ketika majikan tak suka, PRT tidak berdaya ketika diberhentikan sepihak. Saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia, nasib PRT kian terpuruk Seperti yang dialami Leni Suryani (38).
Sejak awal Maret 2020, Leni yang tengah mengandung empat bulan diberhentikan tiba-tiba oleh majikannya yang berasal dari China (ekspatriat) karena khawatir akan Covid-19. Demikian dialami Susi (33) yang tinggal di Pondok Melati,Bekasi, Jawa Barat. Ia yang bekerja setengah hari (pukul 05.30-12.00) di rumah majikannya sejak Maret diminta tak bekerja lagi di rumah majikan.
Si majikan khawatir Susi membawa virus korona baru.Ibu dua anak berumur 6 tahun dan 4 tahun ini tak bisa berbuat apa-apa. Upah bulanan sebesar Rp 2 juta, yang diandalkan untuk membayar kontrakan Rp 750.000 per bulan dan kebutuhan hidup sehari-hari tak didapatnya lagi.Suaminya, sopir angkutan kota, kini tak bekerja lagi. ”Sangat menyiksa, untuk makan saja sudah sulit, apalagi untuk membayar kontrakan dan listrik. Kami akhirnya berusaha cari pinjaman sana-sini,” kata Susi yang kini mencari kerja sampingan di jasa cuci baju.
Nasib Susi, Leni, dan jutaan rekan mereka untuk mendapat pengakuan negara masih melewati jalan panjang dan berliku. Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (PPRT) sudah 16 tahun di tangan DPR dan tak kunjung disahkan. Masuknya RUU ini dalam Program Legislasi DPR periode 2019-2024 membawa angin segar ”PRT bekerja sebagai care work, tetapi orang tidak care dengannya,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini, Senin (15/6/2020). Ia menyebutkan, negara belum hadir bagi PRT. RUU yang telah melewati empat periode pemerintahan baru sekarang mulai dibahas di DPR. ”Itu pun masih menghadapi berbagai penolakan,” ujar Lita.
Karena itu, selain UU PPRT, pemerintah diharapkan segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT. Kenyataannya, hingga memperingati Hari PRT Internasional 2020 pada 16 Juni 2020, PRT masih terlupakan.(SONYA HELLEN SINOMBOR/Kompas, 16 Juni 2020)
Hari PRT Internasional dan Urgensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional setiap tahunnya diperingati pada 16 Juni. Bertepatan dengan momen di 2020, kembali digaungkan urgensi perlindungan bagi para pekerja rumah tangga di Indonesia.
Hal ini beriringan dengan dorongan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang disuarakan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) dan beragam organisasi perempuan.
Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan tiga klaster, merujuk pada tuntutan pengesahan RUU PPRT, yang meliputi rekrutmen, perlindungan, dan relasi. Perlindungan merupakan suatu pengakuan bagi PRT sebagai pekerja."Ada 4,2 juta (PRT yang bekerja di dalam negeri) artinya dengan ada pengakuan berarti mengurangi angka pengangguran, menghapus diskriminasi, eksploitasi dan perbudakan," kata Lita dalam bincang daring yang digelar Komnas Perempuan dan Kowani, Selasa (16/6/2020).
Pengakuan, dikatakan Lita, adalah suatu akses bagi pekerja rumah tangga bisa mengakses pelatihan. Sedangkan bicara soal perlindungan adalah untuk kedua belah pihak yakni untuk PRT dan pemberi kerja, karena di dalam RUU PPRT diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang seimbang."Hak PRT yang kami usulkan general. Kami menyadari masalah PRT kompleks dan pemberi kerja dari kelas atas--bawah, tidak semua punya kemampuan yang sama. Kami hanya menuntut supaya ada perlindungan upah, upah dibayarkan" lanjutnya.
Lalu yang kedua, adalah menekankan untuk waktu libur bisa disepakati kedua belah pihak. Berlanjut pada pentingnya jaminan sosial. "Yakni jaminan kesehatan karena upahnya rata-rata jauh di bawah UMR mereka diikutsertakan sebagai peserta penerima bantuan iuran," kata Lita (liputan 6.com).
Posting Komentar