400 Pedagang Pasar “Babe” Belum Terima Sembako, Puluhan Kios Mangkrak, dibangun dengan biaya Rp 3,9 miliar

Pasar Ternak dan Burung Undaan

Kudus, Berita Moeria (BeMo)

Sekitar 400 pedagang pasar Barang Bekas (Babe) sampai dengan Minggu (7/6/2020) belum kebagian “sembako” dari pemerintah. Dari jumlah tersebut sekitar 50 persennya terpaksa menutup kiosnya, akibat terimbas pandemi Covid-19. Selebihnya masih berusaha bertahan, meski penghasilannnya merosot.


Sedang puluhan kios di Pasar Burung yang menyatu dengan Pasar Babe ini juga dibiarkan mangkrak. Padahal  khusus pasar burung ini dibangun dengan biaya Rp 3,9 miliar. Kedua pasar yang menjadi satu ini berada di tepi jalan raya wilayah Desa Jati Wetan Kecamatan Jati (Kudus).


Menurut koordinator pedagang pasar Babe, Jayadi, Minggu (7/6/2020), pihaknya sebenarnya sudah menginformasikan kondisi temannya kepada Dinas Perdagangan, Dinas Sosial maupun kepada Pemkab Kudus. Namun belum/tidak diperhatikan. “Padahal kami selama ini juga membayar retribusi yang ditentukan Dinas Perdagangan. Kami merasa tidak diperhatikan dalam situasi serba susah seperti sekarang ini,” tegasnya.

Ia menambahkan, pasar Babe sebenarnya mulai banyak dikenal. Tidak hanya hanya warga Kudus sendiri, tapi juga warga dari Jepara, Demak, Pati, Rembang. Bahkan sejumlah warga Semarang dan Solo juga berburu barang di pasar yang terletak di tepi jalan raya Kudus- Undaan. Tepatnya beberapa puluh meter timur Rumah Sakit Mardi Rahayu dan Gedung Olahraga Djarum Desa Jati Wetan. “Barangnya lumayan lengkap dan harganya lebih “mede” (murah) dibanding harga di pasar Babe lainnya,” Sebelum pandemi Covid-19, rata rata keuntungan bersih setiap pedagang mencapai Rp 200.000,-. Sekarang tinggal separonya saja kadang kadang berhasil, namun juga malah “blong” samasekali.

Menurut Jayadi, selain faktornya melemabhnya pembeli, penurunan omzet dagangan, juga pasokan barang dari sejumlah pelanggan juga menurun. Padahal pasokan barang tersebut dari satu sisi keuntungan lebih besar. Apalagi barangnya relatif masih baru.  “Sebagai contoh televisi dan barang elektronik lainnya. Sebagai kota industri yang menghasilkan banyak jenis produk maka sebagian diantaranya ada produk yang cacat (tidak rusak), cukup lumayan untuk secara tidak langsung menopang kehidupan pasar Babe,” ujarnya. Jayadi sendiri mempunyai dua kios di pasar Babe, tapi terpaksa ditutup. Akibatnya pria yang lebih dikenal dengan Pak Guru ini harus pontang panting mencari sumber penghasilan lain.

Mangkrak

Bemo yang  blusukan ke pasar Babe pada posisi hari Minggu, hari libur, melihat puluhan sepeda motor terparkir di bawah kerindangan banyak pohon waru yang berdaun cukup lebat. Mengakibatkan panasnya sinar matahari sedikit bamyak teredam.


Memang setelah masuk ke dalam komplek “perkiosan”, cukup banyak yang tutup total sejak lebih dari sebulan lalu . Banyak pula yang menutup [ kiosnya lebih awal. Namun “nafas” kehidupan jelas masih terendus. Para bakul pakaian, buku, elektronik, onderdil motor, sepeda, ban, hingga bakul minuman dan makanan dan sebagainya nampak sedang dikerumini pembeli. Meski dalam pasar ini tidak mentrapkan “jaga jarak”, namun sebagian besar penjual  dan pembeli memakai masker.


Sedang di bagian belakang Pasar Babe, terlihat dua bangunan yang mangkrak. Konon bangunan yang masih nampak baru ini akan dipergunakan sebagai tempat warung makan yang lebih representatif. Tetapi “pemiliknya” dari kalangan pejabat di Kudus. Di bagian depannya terlihat “semak belukar”.


Lalu di belakang dua bangunan yang mangkrak juga terlihat dua bangunan kecil yang tidak jelas peruntukannya. Sedang  di seberang depan bangunan mangkrak, terlihat satu bangunan setengah permanen untuk ajang lomba burung berkicau.

Kios melompong

Lokasi Pasar Babe sebenarnya cukup luas, karena bekas tempat pasar hewan yang  cukup berpengaruh di Eks Karesidenan Pati. Sebagian lainnya dipergunankan untuk pasar burung yang dibangun dengan biaya sangat besar yaitu Rp 3,9 miliar lebih.


Pembangunan pasar burung ini juga bermasalah sejak awal dan sampai sekarang belum juga ada penyelesainnya. Menurut data yang dihimpun dari  Paguyuban Pedagang Burung kudus (PPBK) , mereka sudah sering “berteriak-teriak” tentang  puluhan kios yang sejak selesai dibangun dan dioperasikan awal 2016, sampai sekarang dibiarkan kosong melompong.

Seharusnya menurut dia, Pemkab Kudus- dalam hal in Dinas Perdagangan dan Pengelolaan Pasar, cukup membangun disesuaikan dengan jumlah  pedagang burung pindahan dari pasar Wergu yang berjumlah  85 ( semuanya anggota PPBK).


Namun kenyataan dibangun lebih dari 150 kios, sehingga ada kelebihan kios hingga  65 unit dan sebagian besar dalam kondisi kosong melompong. “Diduga, kios kios yang kosong tersebut milik “perampok berdasi”. Sebagian lagi diberikan kepada juru parkir dan sejumlah oknum yang sebenarnya tidak berhak menerima. Juga ditengarai, pembangunan kios yang jumlahnya berlebihhan itu disengaja untuk menaikkan biaya pembangunan. Sekaligus juga sebagai bentuk upeti kepada  oknum “perampok berdasi”. . (sup)


Komentar

Lebih baru Lebih lama