Taman Menara |
Kudus, Berita Moeria. (BeMo)
Sejak tempat wisata di Kudus ditutup gara-gara covid-19, maka nyaris
seluruh pedagang kaki lima (PKL), tukang ojek, tukang becak, tukang foto
angkutan umum dan sebagainya “lenyap”. Selasa siang (28/4/2020), BeMo, menyambangi komplek Taman Menara, yang ikut
terkena imbas atas penutupan tempat wisata tersebut. Sebab terkait erat dengan
keberadaan komplek makam, masjid Sunan
Kudus, terminal wisata Bakalan Krapyak serta sejarah kudus tempo doeloe.
Masjid Padureksan
Masjid Madureksan |
Masjid
Madureksan bernilai sejarah yang
unik. Tidak semata-mata tempat sembahyang, namun sering dijadikan lokasi untuk mengadili berbagai macam perkara,
hingga tempat mengatur strategi
perang bagi Sunan Kudus. Sebab, menurut Ketua Lembaga Penjaga dan Penyelamat Karya Budaya Bangsa (LPPKBB) Kabupaten Kudus,
Sancaka Dwi Supani, yang ditemui Memo Jateng Rabu (23/5/2018) Sunan
Kudus dikenal sebagai salah satu anggota Wali Sanga ( Wali yang berjumlah 9 orang,
yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel. Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan
Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati) dan
senopati-panglima perang Kerajaan Islam Demak.
Nama Madureksan atau Padureksan, muncul kali pertama ketika Sunan Kudus dan
Kiai Telingsing memimpin pertemuan antar kiai dan muncul perdebatan sengit sehingga melenceng menjadi “debat kusir”.
“uwis ora susah pada padu, kabeh kudu bisa ngreksa dhewe-dhewe”
tutur Kiai Telingsing saat itu.. Dari kata padu dan ngreksa akhirnya muncul
nama Madureksan.
Masjid Madureksan yang memiliki luas pekarangan (termasuk bangunannya) dengan panjang 17 meter, lebar 13 meter, dan
dibangun sekitar tahun 1520 Masehi . Atau lebih “tua” dibanding Masjid Menara
yang dibangun Sunan Kudus pada 1549 Masehi. Juga telah ditetapkan sebagai benda
cagar budaya. Melalui surat Keputusan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
(BP3) Jawa Tengah, nomor 11-19/Kud/15/TB/04. tahun 2005.
Selain itu menurut Supani, sebelum direnovasi Masjid Madureksan
tergolong “nyleneh”, karena ukurannya
relatif kecil dibanding dengan masjid pada umumnya. Lagi pula bangunannya juga
tergolong pendek, sehingga saat umat
hendak masuk ke dalam harus jongkok lebih dahulu. “Oleh karena “tenggelam “
sekitar 70 centimeter, maka pihak
pengurus masjid memutuskan untuk dipugar
per 6 Juli 1989.
Digugat
Sesepuh Masjid Madureksan, yang juga mantan Kepala Desa Kerjasan, Rahmat Hidayat (67)
yang ditemui BeMo Selasa (28/4/2020), secara lesan maupun tertulis telah mengajukan
permohonan kepada Dinas Perdagangan dan Pasar Kabupaten Kudus, agar memberikan
akses jalan- pintu ke luar masuk Masjid Madureksan. “Namun sampai sekarang
tidak digubris. Padahal dalam peta Desa
Kerjasan, masjid tersebut memang berada di wilayah Desa Kerjasan dan memiliki
jalan tersendiri dari pelataran masjid menuju ke arah timur. Kami “dikalahkan”
dengan terbitnya sertifikat tanah atas nama Pemerintah Kabupaten Kudus,”
ujarnya sedih.
Berdasarkan bukti peta desa , sejarah dan saksi mata yang hingga sekarang
masih hidup, sebelum tahun 1975 Masjid Madureksan masih menyatu dengan
komplek Pasar Kudus.Lama Pasar ini pada
awalnya dikenal sebagai Alun Alun semasa Sunan Kudus.
Pada tahun 1975, Pasar Kudus lama
ini dipindah ke Pasar Jember, sekitar satu kilometer arah barat dari komplek
pasar Kudus lama. Kemudian Pemkab Kudus membangun perpustakaan dan juga sanggar
Merah Putih.. Lokasi ini juga dijadikan pangkalan ojek sepeda motor khusus
untuk antar jemput peziarah-wisatawan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus “Saat itu Pemkab masih menyisakan sebuah gang kecil yang berfungsi
untuk ke luar masuk ke Masjid Madureksan dari arah selatan. Sedang di depan
masjid ditempati para pedagang kaki lima.” tambah Rahmat Hidayat.
Kemudian ketika komplek bekas pasar kudus lama tersebut akan dibongkar dan
dijadikan Taman Menara, sejumlah tokoh masyarakat dan warga mengajukan keberatan. Sebab pihak
pemerintahan desa dan warga tidak pernah diajak “rembugan”. Namun Dinas Perdagangan dan Pasar
bersikukuh, bahwa komplek itu milik Pemkab dan saat pengukuran langsung Bupati
Kudus (saat itu) Wimpie Hardono turun tangan. Akhirnya dengan dana Rp 3 miliar
dari Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) Kudus dibangunlah Taman Menara
yang selesai pada awal 2016
Berubah fungsi

Seseorang Terlelap di Taman Menara Kudus
Berdasarkan kajian, taman kota
sebagai ruang terbuka hijau adalah taman yang
ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Dengan sosial, sebagai tempat beraktifitas bersama.
Tempat komunikasi sosial, peralihan dan
menunggu, tempat bermain dan olah raga.
Termasuk sebagai
sarana olah raga dan rekreasi, penghubung antara tempat satu dengan tempat
lainnya, pembatas diantara massa bangunan, sarana penelitian dan pendidikan,
sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan serta keserasian.
Namun apa yang
terjadi di Taman Menara Kudus ini, justru hampir sepanjang 24 jam (kecuali
selama bulan Ramadan) dijadikan
mangkal pengojek , peziarah-pengunjung
Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus.Bukan hanya itu saja, ternyata pembangunan
Taman Menara Kudus ini diduga tidak
dilengkapi ijin mendirikan bangunan (IMB).
Pemerhati
sejarah dan budaya, penulis sejumlah buku serta Dosen Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN ) Kudus, Moh Rosyid pun angkat bicara tentang Masjid
Madureksan dan lingkungannya. Ia sangat menyayangkan
, pembangunan Taman Menara Kudus terkesan fokus pada orientasi ekonomi
dan kurang menguri-uri situs bersejarah.." Jelas posisi bangunan Masjid
Madureksan semakin terisolir,” tegasnya.
Padahal
Masjid Madureksan dibangun lebih dahulu dibandingkan dengan Masjid Menara Kudus.
Idealnya bangunan Taman Menara menampakkan
postur bangunan Masjid Madureksan yg memiliki sumbu lurus dengan Kelenteng Hok
Ling Bio.
Kelenteng
ini terletak hanya sekitar 20 meter seberang jalan depan Masjid Madureksan .
Dibangun pada masa kolonial dan juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal
ini agar semakin tegas sebagai pertanda yang menggambarkan
toleransi.beragama, “Ini sudah terlanjur menjadi “bubur”. Ke depannya,
pembangunan pada area bersejarah alangkah baiknya didiskusikan terlebih dahulu
dengan sejarawan, arkeolog, budayawan, dan publik agar hasil pembangunan tepat
sasaran Dengan demikian tidak terkesan mengeliminasi peta situs sejarah Islam
di Kudus.,” ujar Rosyid.
Diorama

Diorama Pasar Bubar Kudus
Di Museum Jenang Jalan Sunan Muria (Kudus) ditampilkan diorama Pasar Bubar, tempat pasar tradisional
pertama di Kabupaten Kudus yang antara
lain dijadikan tempat berjualan produk jenang produk Mabruri.
Hanya saja banyak warga banyak yang tidak tahu – khususnya warga Kudus
tentang lokasi Pasar Bubar, karena pasar itu mulai muncul pada era Sunan Kudus. Namun demikian sampai sekarang
masih ada bukti bekas-bekas pasar tersebut. Yaitu berupa sebuah pohon beringin
dan sebuah masjid, yang berlokasi di tepi jalan Sunan Kudus. Atau sekitar 10-20
meter pojok kanan komplek Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus.
Diorama yang dilatar belakangi dengan lukisan seputar Pasar Bubar, pada
umumnya masih tetap sama dengan aslinya. Antara lain rumah penduduk dengan
tembok menjulang tinggi, gang-gang sempit, yang merupakan ciri khas dari rumah
kuno di kawasan Kudus Kulon. Di lokasi ini juga masih terlihat utuh bangunan
kelenteng, yang bisa diartikan sebagai simbol toleransi umat beragama.(sup)
Posting Komentar