Masjid Madureksan Semakin “Tenggelam” Taman Menara Menggusur Sejarah


Taman Menara

Kudus, Berita Moeria. (BeMo)

Sejak tempat wisata di Kudus ditutup gara-gara covid-19, maka nyaris seluruh pedagang kaki lima (PKL), tukang ojek, tukang becak, tukang foto angkutan umum dan sebagainya “lenyap”. Selasa siang (28/4/2020), BeMo,  menyambangi komplek Taman Menara, yang ikut terkena imbas atas penutupan tempat wisata tersebut. Sebab terkait erat dengan keberadaan komplek  makam, masjid Sunan Kudus, terminal wisata Bakalan Krapyak serta sejarah kudus tempo doeloe.

Masjid Padureksan

Masjid Madureksan
Kondisi Masjid Madureksan yang terletak hanya beberapa meter dari arah pojok selatan komplek Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, semakin “tersembuyi”. Terkepung lebih dari 80 kios yang berada dalam komplek Taman Menara. Akibatnya nyaris setiap hari tidak dipenuhi warga yang ingin shalat dan hanya pada momen tertentu- seperti selama bulan ramadan ini, setiap malamnya Masjid Madureksan masih disambangi warga.

Masjid Madureksan bernilai sejarah yang unik. Tidak semata-mata tempat sembahyang, namun  sering dijadikan lokasi  untuk mengadili berbagai macam perkara, hingga tempat  mengatur strategi perang  bagi Sunan Kudus. Sebab, menurut Ketua Lembaga Penjaga dan Penyelamat  Karya Budaya Bangsa (LPPKBB) Kabupaten Kudus, Sancaka Dwi Supani, yang ditemui Memo Jateng Rabu (23/5/2018) Sunan Kudus dikenal sebagai salah satu anggota Wali Sanga ( Wali yang berjumlah 9 orang, yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel. Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati) dan senopati-panglima perang Kerajaan Islam Demak.

Nama Madureksan atau Padureksan, muncul kali pertama ketika Sunan Kudus dan Kiai Telingsing memimpin pertemuan antar kiai dan muncul  perdebatan sengit  sehingga melenceng menjadi “debat kusir”. “uwis ora susah pada padu, kabeh kudu bisa ngreksa dhewe-dhewe” tutur Kiai Telingsing saat itu.. Dari kata padu dan ngreksa akhirnya muncul nama Madureksan.

Masjid Madureksan yang memiliki luas pekarangan (termasuk bangunannya) dengan panjang 17 meter, lebar 13 meter, dan dibangun sekitar tahun 1520 Masehi . Atau lebih “tua” dibanding Masjid Menara yang dibangun Sunan Kudus pada 1549 Masehi. Juga telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Melalui surat Keputusan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, nomor 11-19/Kud/15/TB/04. tahun 2005.

Selain itu menurut Supani, sebelum direnovasi Masjid Madureksan tergolong  “nyleneh”, karena ukurannya relatif kecil dibanding dengan masjid pada umumnya. Lagi pula bangunannya juga tergolong pendek, sehingga saat  umat hendak masuk ke dalam harus jongkok lebih dahulu. “Oleh karena  “tenggelam “  sekitar 70 centimeter, maka  pihak pengurus masjid memutuskan untuk dipugar  per 6 Juli 1989.

Digugat

Sesepuh  Masjid Madureksan,  yang juga mantan  Kepala Desa Kerjasan, Rahmat Hidayat (67) yang ditemui BeMo Selasa  (28/4/2020),  secara lesan maupun tertulis telah mengajukan permohonan kepada Dinas Perdagangan dan Pasar Kabupaten Kudus, agar memberikan akses jalan- pintu ke luar masuk Masjid Madureksan. “Namun sampai sekarang tidak digubris. Padahal  dalam peta Desa Kerjasan,  masjid tersebut memang  berada di wilayah Desa Kerjasan dan memiliki jalan tersendiri dari pelataran masjid menuju ke arah timur. Kami “dikalahkan” dengan terbitnya sertifikat tanah atas nama Pemerintah Kabupaten Kudus,” ujarnya sedih. 

Berdasarkan bukti peta desa , sejarah dan saksi mata yang hingga sekarang masih hidup,  sebelum tahun 1975  Masjid Madureksan masih menyatu dengan komplek Pasar Kudus.Lama  Pasar ini pada awalnya dikenal sebagai Alun Alun semasa Sunan Kudus.

Pada tahun  1975, Pasar Kudus lama ini dipindah ke Pasar Jember, sekitar satu kilometer arah barat dari komplek pasar Kudus lama. Kemudian Pemkab Kudus membangun perpustakaan dan juga sanggar Merah Putih.. Lokasi ini juga dijadikan pangkalan ojek sepeda motor khusus untuk antar jemput peziarah-wisatawan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus  “Saat itu Pemkab masih  menyisakan sebuah gang kecil yang berfungsi untuk ke luar masuk ke Masjid Madureksan dari arah selatan. Sedang di depan masjid ditempati para pedagang kaki lima.” tambah Rahmat Hidayat.

Kemudian ketika komplek bekas pasar kudus lama tersebut akan dibongkar dan dijadikan Taman Menara, sejumlah tokoh masyarakat dan warga  mengajukan keberatan. Sebab pihak pemerintahan desa dan warga tidak pernah diajak “rembugan”. Namun  Dinas Perdagangan dan Pasar bersikukuh, bahwa komplek itu milik Pemkab dan saat pengukuran langsung Bupati Kudus (saat itu) Wimpie Hardono turun tangan. Akhirnya dengan dana Rp 3 miliar dari Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) Kudus dibangunlah Taman Menara yang selesai pada awal 2016

Berubah fungsi
Seseorang Terlelap di Taman Menara Kudus

Berdasarkan kajian, taman kota  sebagai ruang terbuka hijau adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Dengan   sosial, sebagai tempat beraktifitas bersama. Tempat komunikasi sosial,  peralihan dan menunggu, tempat bermain dan olah raga.

Termasuk sebagai sarana olah raga dan rekreasi, penghubung antara tempat satu dengan tempat lainnya, pembatas diantara massa bangunan, sarana penelitian dan pendidikan, sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan serta keserasian.

Namun apa yang terjadi di Taman Menara Kudus ini, justru hampir sepanjang 24 jam (kecuali selama bulan Ramadan)  dijadikan mangkal  pengojek , peziarah-pengunjung Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus.Bukan hanya itu saja, ternyata pembangunan Taman Menara Kudus ini diduga  tidak dilengkapi ijin mendirikan bangunan (IMB). 

Pemerhati sejarah dan budaya, penulis sejumlah buku serta Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN ) Kudus, Moh Rosyid pun angkat bicara tentang Masjid Madureksan  dan  lingkungannya. Ia sangat menyayangkan ,  pembangunan Taman Menara  Kudus terkesan fokus pada orientasi ekonomi dan kurang menguri-uri situs bersejarah.." Jelas posisi bangunan Masjid Madureksan semakin terisolir,” tegasnya.
            
Padahal Masjid Madureksan dibangun lebih dahulu dibandingkan dengan Masjid Menara Kudus. Idealnya  bangunan Taman Menara menampakkan postur bangunan Masjid Madureksan yg memiliki sumbu lurus dengan Kelenteng Hok Ling Bio.

Kelenteng ini terletak hanya sekitar 20 meter seberang jalan depan Masjid Madureksan . Dibangun pada masa kolonial dan juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Hal ini  agar semakin tegas  sebagai pertanda yang menggambarkan toleransi.beragama, “Ini sudah terlanjur menjadi “bubur”. Ke depannya, pembangunan pada area bersejarah alangkah baiknya didiskusikan terlebih dahulu dengan sejarawan, arkeolog, budayawan, dan publik agar hasil pembangunan tepat sasaran Dengan demikian tidak terkesan mengeliminasi peta situs sejarah Islam di Kudus.,” ujar Rosyid.

Diorama
Diorama Pasar Bubar Kudus

Di Museum Jenang Jalan Sunan Muria (Kudus) ditampilkan diorama Pasar Bubar, tempat pasar tradisional pertama  di Kabupaten Kudus yang antara lain dijadikan tempat berjualan produk jenang produk Mabruri.

Hanya saja banyak warga banyak yang tidak tahu – khususnya warga Kudus tentang lokasi Pasar Bubar, karena pasar itu mulai muncul pada era  Sunan Kudus. Namun demikian sampai sekarang masih ada bukti bekas-bekas pasar tersebut. Yaitu berupa sebuah pohon beringin dan sebuah masjid, yang berlokasi di tepi jalan Sunan Kudus. Atau sekitar 10-20 meter pojok kanan komplek Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus.

Diorama yang dilatar belakangi dengan lukisan seputar Pasar Bubar, pada umumnya masih tetap sama dengan aslinya. Antara lain rumah penduduk dengan tembok menjulang tinggi, gang-gang sempit, yang merupakan ciri khas dari rumah kuno di kawasan Kudus Kulon. Di lokasi ini juga masih terlihat utuh bangunan kelenteng, yang bisa diartikan sebagai simbol toleransi umat beragama.(sup)

Komentar

Lebih baru Lebih lama