Gereja Kayuapu, Benda Cagar Budaya Dibangun 1864

Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ ) Kayuapu Gondangmanis Kudus

KUDUS, Berita Moria(BeMo)
          Sebenarnya Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Kayuapu yang terletak di Desa Gondangmanis Kecamatan Bae Kabupaten Kudus (Jawa Tengah) tergolong benda cagar budaya . Sebab, berdasarkan undang undang (UU) nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) pasal 1 menyebutkan : BCB adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya  yang telah berumur sekurang-kurangnya lima tahun. Atau mewakili  masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya  lima puluh tahun, serta dianggap  mempunyai nilai penting  bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
          Sedang GITJ Kayuapu  dibangun pada tahun 1864, namun sampai sekarang (menjelang akhir Desember 2016) belum juga ditetapkan sebagai BCB. Padahal Gereja Katolik Yohanes Evangelista di Jalan Sunan Muria dan Gereja Kristen Jawa  (GKJ)  di Jalan Dipongeoro (keduanya di Kudus) telah ditetapkan sebagai BCB. Meski  dari sisi “usia”, keberadaan kedua gereja tersebut jauh lebih muda dibanding dengan GITJ Kayuapu.
          UU nomor 5/1992 tentang BCB itu sendiri telah diganti dengan  UU nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya (CB) dan  ada sejumlah perbedaan. Dalam UU terbaru tersebut, yang dimaksud (1) cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya , Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar budaya, Situs Budaya dan kawasan cagar budaya di darat dan atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya, karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.
          Sambil menunggu ditetapkannya sebagai cagar budaya,  pembangunan GITJ Kayuapu itu sendiri bersamaan juga dibangun sebuah gereja di Kecamatan  Mojowarno Kabupaten Jombang (Jawa Timur) berdekatan /berbatasan dengan situs Kerajaan Mojopahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto  Bangunan kedua gereja itu tergolong istimewa, karena berdinding tembok dan pada saat itu umumnya menggunakan bahan baku kayu.
         Selain itu di samping kanan gedung gereja, nampak  sebuah bangunan berbentuk kerucut  setinggi sekitar 7-10 meter yang berfungsi sebagai tempat  lonceng gereja. Lonceng ini pada awalnya dibunyikan secara manual ( rantainya ditarik-tarik) dan  kemudian  bisa dibunyikan secara mekanik. Setiap jam dan hari hari tertentu dibunyikan  sehingga terdengar suara nyaring yang mampu menembus sejauh lebih dari radius satu kilometer
Khusus untuk Gereja Injili di Tanah  Jawa (GITJ) Kayuapu,  persembahan dari Administratur pabrik gula  Tanjungmojo  Kecamatan Jekulo (Kudus) Selain pabrik gula Tanjungmojo di Kabupaten Kudus, berdiri pula pabri gula (PG) Besito Kecamatan Gebog dan PG Trangkil Kecamatan Kota Kudus. Namun tinggal PG Rendeng yang hingga sekarang masih tetap berproduksi. “Beberapa tahun kemudian di sampng belakang gereja dibangun sebuah poliklinik,” tutur Pendeta GITJ Kayuapu, Slamet  Suharyanto.
          Selain itu GITJ Kayuapu, merupakan rangkaian sejarah kristenisasi Jawa, seperti yang ditulis C Guillot dalam bukunya setebal 243 halaman (cetakan pertama  1985) berjudul Kia Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, buku Sejarah Gereja Injili diTanah Jawa  tulisan Sigis Herusukotjo dan L Yoder (1979), Jemaaat Kayuapu abad ke-19 dan awal ke-20 (Pendeta Karmito) Sejarah GITJ ( Panitia Sarasehan Menelusuri Sejarah Gereja Kayuapu,  September 2002)
Sebelum bangunan gereja berdiri, menurut  C Guilot muncul Tunggul Wulung yang dilahirkan di Jepara awal abad XIX, dengan nama asli Ngabdullah Ada dua versi Tunggul Wulung  asal muasal ia masuk Kristen., tetapi yang pasti  ia datang ke rumah Jellesma di Mojowarno dan diberikan sebuah Kitab Perjanjian Baru.
          Setelah itu sempat beberapa bulan tinggal di rumah Jellesma dan selanjutnya ke Semarang bertemu dengan penginjil  Bruckner, Hoezoo, Anthing dan  Jansz. Namun Jansz menolak membaptis, sehingga Tunggul Wulung kembali  Mojowarno. Menemui Jellesma, yang kemudian mengajari membaca, menulis, mengajarkan pokok-pokok agama Kristen dan akhir  dibaptis antara 1884 – 1855 dengan nama baptis Ibrahim.
Sejak itulah. Ibaratnya tanpa henti-hentinya  mengelilingi Pulau Jawa selama dua puluh tahun memperkenalkan agama Kristen, sehingga tercacat sebagai sejarah Kristenisasi.  Desa Bondo  Kecamatan Bangsri (Jepara) dan Kayuapu merupakan salah satu buktinya, yang hingga sekarang masih cukup banyak pemeluk agama Kristen. .
          Era 1904 hingga 1921 sempat terjadi kekosongan  tenaga pelayanan di Kayuapu, sehingga untuk mengatasinya  ditempuh pelayanan jarak jauh  melalui misionaris berkebangsaan Rusia,  Nikolai Thiessen yang tinggal di Margorejo Lalu dilanjutkan  Johan Fast hingga  1928.
Periode 1929 – 1933  ditangani  Hermann Schmitt dan Gersom Baru  setelah itu, warga negara pribumi, dalam hal ini warga jemaat gereja Kayuapu sendri yang bernama  Radija Nitiardjo  mampu  memberikan pelayanan.
Lalu dilanjutkan Wigeno Mororedjo yang  bertugas hingga  Gereja Kayuapu  menjadi gereja mandiri  penuh  per 24 November 1940 dan pada  saat diselenggarakan pemilihan umum kali pertama di Indonesia,  jumlah jemaat yang telah dibaptis mencapai 65 dan ditambah  146 anak. Menjelang akhir 2008   total mencapai lebih dari 1.000 jiwa.
          Selain itu, mengingat kondisi bangunan GITJ Kayuapu yang sudah uzur dan jumlah jemaaf  terus meningkat, maka  dilakukan renovasi pada 2002. “ Semua tiang-tiang penyangga yang telah keropos diganti dengan  cor beton bertulang dan dilebarkan  ke kanan dan ke kiri. Namun bagian atas (kerangka) yang terbuat dari kayu jati ukuran besar masih cukup kuat sehingga tidak diganti. Bekas  poliklinik dimanfaatkan untuk kegiatan jemaat lanjut usia. Lalu membangun Sekolah Minggu 4 lokal, rumah pendeta, garasi , kantor dan sebagainya,” tutur Pendeta GITJ Kayuapu, Slamet Suharyanto..
Guna membiayai perawatan  bangunan, operasional, sarana, prasarana, GITJ Kayuapu ditopang dari 11 hektar lahan yang biasanya ditanami tebu (warisan misi Zending) dan persembahan warga.
          Memiliki 13 kelompok pandonga dan setiap tahun baru menggelar tradisi undhuh-undhuh. Awalnya tradisi ini berupa persembahan jemaat berupa aneka jenis hasil bumi, khususnya pertandian dan perkebunan. “Namun dalam beberapa tahun terakhir diganti dalam bentuk uang, karena danggap lebih praktis dan menyesuaikan kondisi serta perkembangan jaman,” tambahnya..
Bahkan sejak awal 2016, telah terbentuk Paguyuban Pemuda Dukuh Kayuapu (Papsika), yang tidak hanya melibatkan warga gereja ( umat Kristiani), namun juga melibatkan warga  Muslim, maupun warga yang beragama lainnnya. “Secarara umum, jika menghadapi  hari raya keagaaman. Seperti natal, tahun baru, idul fitri (lebaran) dan sebagainya melibatkan semua anggota Papsika.. Ini adalah satu upaya kami untuk “membumikan” tentang kerukunan umat beragama hingga saling menghargai  adanya perbedaan pendapat. “ tegas Pendeta GITJ Kayuapu, Slamet Suharyanto.
Mennonit
Pendeta GITJ Sunan Muria Kudus, Herin Kahadi Jayanto, selaku  pengurus Sinode GITJ menjelaskan, Gereja Kayuapu maupun gereja lain yang berada di wilayah Kudus, Pati,Jepara atau lebih dikenal wilayah Muria, pada umumnya menganut aliran mennonit, yaitu sebuah gerakan Anabaptis era reformasi,dengan salah tokohnya Menno Simons.
Gereja Kayuapu yang semula dikenal sebagai Gereja Kristen Jawa Muria ini sudah  tercatat sebagai anggota Konferensi Mennonit Sedunia atau Mennonite World Conferenc sejak sekitar 1960.
Sedang  aliran mennonit sendiri secara ringkas diartikan  membaptis  atas dasar pengakuan iman seseorang yang telah dewasa. Namun pengertian secara luas, menekankan rahmat Allah dihayati dalam cara hidup yang baru  seperti ajaran Yesus Kristus.
Masing masing anggota gereja bertanggung jawab  bersama atas kehidupan dan pelayanan. Tidak tergantung pada  negara dan fasilitasnya untuk mengatur  soal iman. serta tidak memakai alat negara  untuk mencapai tujuan.
Gereja Kristen  Jawa Muria ini akhirnya melebur diri menjadi Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) sejak 1965, menyesuaikan  semangat gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia  yang saat itu mengutamakan bahasa Indonesia serta  gereja Kristen Indonesia lainnya.
Pada saat ini GITJ tidak hanya terdapat di seputar Muria saja, melainkan telah meluas ke Semarang , Lampung dan Jambi dengan jumlah  gereja 110 unit serta jumlah jemaat sekitar 65.000 jiwa.(sup) .

Komentar

Lebih baru Lebih lama